Friday, January 2, 2009

Permasalahan Rokok : Sebuah Perbandingan antara Indonesia dan Malaysia

Permasalahan Rokok
Sebuah Perbandingan Antara Indonesia dan Malaysia
(Oleh: Zulhelmi, SS, MA[1])

Muqaddimah
Tulisan ini ingin membandingkan antara dua buah negara, Indonesia dan Malaysia, dalam mengatasi permasalahan rokok. Menurut hemat saya, Malaysia sangat sesuai untuk kita jadikan sebagai objek perbandingan untuk permasalahan rokok, karena antara dua buah negara ini terdapat hubungan yang sangat special laksana adik dan abang. Harus diakui bahwa Malaysia telah berhasil mengatasi permasalahan rokok, sementara di Indonesia rokok telah menyebabkan banyak dilema dalam kehidupan dan sampai saat ini belum terselesaikan secara tuntas. Bahkan Taufik Ismail, seorang sastrawan agung, dalam sebuah puisi panjangnya yang berjudul “Tuhan 9 CM” mengatakan bahwa Indonesia adalah syurga jannatun naim bagi pecandu rokok dan neraka bagi non pecandu rokok. Hal ini secara jelas menggambarkan bahwa pecandu rokok di Indonesia sudah sangat merajalela dan boleh dikatakan telah melanggar hak asasi manusia.
Memang di beberapa kota besar di Indonesia telah ada peraturan tentang kawasan bebas rokok. Tapi permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah peraturan itu sudah berjalan secara maksimal? Sejauh manakah keseriusan pemerintah dalam menertibkan para pecandu rokok sehingga mereka tidak mengganggu hak asasi manusia yang lain?
Secara khusus, saudara Jarjani Usman pernah menulis sebuah opini yang berjudul “Qanun Rokok Sangat Mendesak” (Serambi Indonesia/28-3-2008). Saudara Jarjani Usman berpendapat bahwa sudah saatnya sekarang kita mempunyai sebuah undang-undang yang mengatur mereka yang candu rokok demi kenyaman dan ketentraman hidup kita bersama. Menurut saya, ide ini sudah sangat tepat sekali, akan tetapi undang-undang saja tidak cukup. Karena undang-undang itu hanya sebatas goresan tinta di atas kertas. Maka diperlukan beberapa langkah selanjutnya untuk mengatasi permasalahan rokok di negeri ini.
Kebijakan Pemerintah Malaysia Terhadap Rokok
Dalam tulisan ini, saya ingin membandingkan kebijakan pemerintah Malaysia dalam mengatasi masalah rokok. Ada beberapa peraturan yang mereka terapkan, pertama: Setiap tahunnya pajak rokok dinaikkan sehingga harga rokok pun di Malaysia setiap tahun bertambah mahal. Kebijakan ini sangat efektif, karena akan terasa secara langsung oleh si pecandu rokok tatkala mengeluarkan uang dari sakunya dalam jumlah yang besar hanya untuk sebungkus rokok, yang kemudian juga akan dibakar oleh dia sendiri. Secara tidak langsung, ini akan memberikan efek jera kepada si perokok karena dia secara tidak langsung akan berfikir bahwa merokok adalah sama dengan membakar uang.
Kedua, tidak boleh mengiklankan rokok di mana saja, kapan saja dan siapa pun dia. Oleh karena itu ketika kita berjalan-jalan keliling negara Malaysia, maka kita tidak pernah mendapatkan iklan rokok di pinggir-pinggir jalan. Justru sebaliknya, kita akan mendapatkan iklan yang memberi pesan bahwa rokok itu racun yang dapat mematikan manusia. Sementara kalau kita bandingkan di Indonesia, iklan rokok terdapat dimana-mana, di media massa, media elektronik, baliho, spanduk dan lain sebagainya. Yang sangat ironisnya lagi, pesan yang disampaikan dalam iklan rokok itu adalah pesan-pesan kesucian jiwa, ketaqwaan dan kekuatan luar biasa yang diperoleh setelah merokok dan lain-lain. Sungguh hal yang sangat bertolak belakang dengan realitas yang terjadi.
Ketiga, membatasi ruang lingkup perokok. Bagi seorang pecandu rokok jangan pernah bermimpi akan bebas merokok di mana saja karena ruang lingkupnya sangat terbatas. Misalnya, dilarang merokok di lingkungan Rumah Sakit, di lingkungan kampus, di dalam transportasi umum, tempat-tempat umum, kantor, auditorium dan tempat-tempat formal lainnya. Akan tetapi, bagi mereka yang ingin merokok telah disediakan secara khusus tempat untuk merokok. Artinya, ruang lingkup mereka dibatasi dan tidak boleh merokok secara bebas.
Keempat, membuat sebuah peraturan bahwa para penjual rokok tidak boleh menjual rokok kepada anak-anak berumur di bawah 18 tahun walau dengan alasan apapun. Dan di setiap toko atau warung atau kios yang menjual rokok, mesti menempelkan spanduk kecil yang bertuliskan peraturan tersebut. Ini adalah apa yang dinamakan sebagai upaya preventif terhadap anak-anak usia dini untuk mengenal rokok. Sebuah berita yang sangat mengejutkan di saat harian Serambi Indonesia (11-12-2008) menuliskan bahwa ternyata ribuan anak bangsa kita (provinsi Aceh) sudah kecanduan rokok. Ternyata anak-anak generasi negeri ini sudah demikian parah tanpa ada pihak yang bertanggungjawab. Sejak usia dini telah kecanduan rokok, bagaimana kisah selanjut waktu mereka menjadi pemuda?
Kelima, memberlakukan denda bagi siapa saja yang telah melanggar peraturan tentang merokok baik sengaja ataupun tidak. Dendanya pun tidak tanggung-tanggung, kalau kita ukur dengan uang rupiah berjumlah kira-kira Rp. 1.500.000.
Keenam, membatasi peluang kerja bagi pecandu rokok. Artinya, ketika sebuah lembaga ingin melakukan rekruitmen para staff atau pegawai, maka akan diberikan keutamaan dan prioritas bagi mereka yang tidak merokok. Sehingga tertera dalam sebuah iklan rekruitmen sebuah point yang menyebutkan: “bagi pecandu rokok tidak digalakkan ( disarankan ) untuk melamar posisi atau jabatan ini”. Demikianlah beberapa kebijakan yang telah diterapkan oleh kerajaan Malaysia dalam mengatasi persoalan rokok.
Kondisi Indonesia
Beda halnya dengan di Indonesia. Di Indonesia, perusahaan rokok menjadi salah satu sumber devisa negara yang sangat besar, yang kalau ditutup –katakanlah demikian- akan membuat negara rugi. Perusahaan rokok juga menampung ribuan para pekerja, yang kalau mereka di PHK semuanya akan berakibat terjadinya gelombang pengangguran besar. Perusahaan rokok juga menjadi sponsor utama untuk event-event besar yang diadakan oleh masyarakat dan juga sponsor beasiswa dalam rangka mencerdaskan generasi bangsa ini juga.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka sulit rasanya untuk mengatasi permasalahan rokok di Indonesia, karena siatuasinya tidak sama dengan di Malaysia. Rokok menjadi dilema bagi bangsa Indonesia. Di satu segi, rokok menjadi mudharat tapi dari segi lain rokok membawa keuntungan. Ibarat buah si malakama, kalau dimakan mati ibu, kalau dibuang mati bapak. Namun demikian, bukan berarti kita tidak bisa menerapkan kebijakan-kebijakan seperti Malaysia. Hal tersebut bisa kita lakukan, asalkan ada keseriusan pemerintah dalam permasalahan ini.
Adapun seperti contoh-contoh di atas yang menggambarkan sejauh mana ketergantungan negara Indonesia pada perusahaan rokok, maka bisa dicari solusinya. Seperti mengurangi produksi rokok atau membatasi produksi rokok atau mengurangi peran perusahaan rokok dalam dunia perekonomian, dengan syarat harus ada pabrik atau perusahaan lain yang akan menggantikan posisinya. Perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan yang memproduksi produk-produk yang bermanfaat secara langsung bagi kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan primer, maupun kebutuhan sekunder. Jadi perusahaan tersebut harus mampu bersaing dan diberikan kesempatan untuk bisa memperluas perannya, sehingga lambat laun, perusahaan rokokpun bisa diciutkan. Tentunya ini sebuah tantangan yang sangat besar bagi pemerintah, karena akan berhadapan dengan tolak tarik kepentingan sekelompok orang. Makanya diperlukan keseriusan dan tekad bulat untuk mengalihkan ketergantungan negara terhadap perusahaan rokok.
Disamping itu juga ada sebuah logika yang sesuai untuk bahan pertimbangan pemerintah. Yaitu, ada kemungkinan besar –diperlukan sebuah penelitian lebih lanjut – bahwa biaya untuk bidang kesehatan yang dianggarkan oleh pemerintah setiap tahunnya, lebih besar dari pajak yang diterima dari perusahaan rokok itu sendiri. Seandainya masyarakat Indonesia bisa mengurangi konsumsi rokok, maka pemerintah tidak perlu mengganggarkan banyak dana untuk bidang kesehatan dan dana ini bisa dialihkan ke bidang lain seperti bidang pendidikan. Logikanya, semakin banyak orang merokok, semakin banyak pula orang sakit. Karena rokok adalah sumber penyakit. Semakin banyak orang sakit, semakin banyak pula beban pemerintah untuk meng-subsidi bidang kesehatan. Wal hasil, lebih banyak pengeluaran dari pada pemasukan.
Penutup
Akhirnya, dipenghujung tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa Indonesia sudah sepatutnya mengikuti sedikit demi sedikit kebijakan Pemerintah Malaysia dalam mengatasi permasalahan rokok. Sehingga julukan Indonesia sebagai surga bagi pecandu rokok bisa dihapuskan. Kita tidak bangga kalau Indonesia diberi julukan surga bagi pecandu rokok, karena ini bukan sebuah pretasi akan tetapi sebuah aib dan kecacatan sosial. Oleh karena itu, dengan tidak mempunyai niat lain, bahwa aksi demontrasi yang dilakukan oleh adik-adik mahasiswa dari KAMMI yang menuntut agar Pemerintah (khususnya PEMDA Aceh) agar segera menetapkan wilayah bebas asap rokok (Serambi Indonesia/6-12-2008), patut didukung sepenuhnya sebagai upaya untuk mengatasi persoalan rokok di negeri ini. Sudah siapkan kita semua? Kita lihat saja reaksi selanjutnya.


[1] Penulis adalah alumni program S2 di International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia. Saat ini berdomisili di Kuala Lumpur, Malaysia. Email: zul_aceh@yahoo.com

No comments:

Post a Comment