Friday, January 2, 2009

Aceh di Mata Ilmuan Asing

Aceh di Mata Ilmuan Asing
Oleh : Zulhelmi Z.A[1]


Mukaddimah
Tulisan ini bertujuan untuk melanjutkan beberapa pandangan yang terdapat dalam opini saudara Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad yang berjudul : Beberapa Agenda Tercecer dalam Study Aceh (Serambi Indonesia : 14/3/2007). Walaupun sudah agak lama berlalu, namun saya merasa tertarik untuk mengangkatnya kembali. Saya sangat sepakat bahwa study Aceh tidak menjadi hal yang menarik di kalangan orang Aceh sendiri. Justru orang barat dan orang asing (bukan putera Aceh) sudah banyak mengkaji dan membuat riset tentang Aceh.
Mungkin kalau saudara Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad dalam opininya lebih cenderung kepada kajian sejarah, sosiologi dan antropologi, karena itu memang spesialisasi beliau, maka saya ingin mengajak kita untuk melihat Aceh dalam dunia sastera. Karena kalau saya melihat bahwa study Aceh dalam kajian sastera telah lama diminati oleh para sarjana asing sejak dulu kala lagi.

Aceh dan Dunia Sastera
Adapun yang saya maksudkan di sini dengan dunia sastera adalah dunia sastera Melayu klasik yang kira-kira kembali pada abad ke-12 masehi. Kalau kita membuka senarai riset atau kajian yang sudah pernah dilakukan oleh para sarjana asing, maka kita akan mendapatkan sederetan tokoh-tokoh sasterawa Aceh yang telah mambawa nama harum bangsa Aceh ke dunia international. Diantara mereka yang sangat termasyhur adalah Hamzah Fansuri, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-sumatera-i, Syiah Kuala, Bukhari al-Jauhari, Syeikh Abdur Rauf As-Singkili, Jamaluddin Tursani dan lain-lain. Bahkan salah seorang sarjana barat yang bernama A.Teeuw telah menetapkan Hamzah Fansuri sebagai tokoh perintis pertama sastera Melayu di nusantara ini.

Para Sarjana Asing
Di antara para sarjana asing dari dunia barat yang telah banyak membuat riset tentang kegemilangan sastera Melayu di Aceh masa lampau adalah Vladimir Braginsky dengan salah satu bukunya yang berjudul “The Heritage of Traditional Malay Literature”. Dalam buku itu beliau mengupas tentang karya-karya sastera yang dihasilkan di Aceh seperti “Hikayat Raja Pasai”, “Tajus salatin”, “Bustanus Salatin” “Hikayat Indraparta” dan lain-lain. Di samping itu G.W.J Drewes dan L.F Brakel telah menulis salah satu buku mereka yang berjudul “The Poem of Hamzah Fansuri”. Kemudian A. Teeuw, juga menulis buku “The Malay Sha’ir ; Problems of Origin and Tradition”. Sementara A. Hill dan Russel Jones telah mengkaji “Hikayat Raja Pasai” di dalam sebuah buku khusus secara terpisah.
Kemudian di samping buku-buku tersebut, kajian ataupun riset ilmiah untuk mendapatkan gelar Master ataupun Doktor, tidak sedikit yang membahas tentang karya-karya sastera besar yang telah dilahirkan di Aceh, diantaranya C.A.O. Nieuwenhujze meraih gelar doctornya di Leiden University dengan menulis disertasi “Shamsu’l – Din Pasai : Bijdrage tot de Kennis der Sumatransche Mystiek”. Dan satu-satunya orang Malaysia yang pertama telah memperkenalkan ajaran-ajaran Hamzah Fansuri ke dunia Eropa adalah Syed Muhammad Naguib Al-Attas dengan disertasi doctoralnya yang berjudul “The Mysticism of Hamzah Fansuri”. Disertasi tersebut telah disidangkan di University of London, tepatnya di The School of Oriental and African Studies (SOAS) tahun 1966 dan masih banyak lagi sederet nama-nama lain yang bukan berdarah Aceh telah menggali khazanah sastera Aceh masa lampau. Walaupun demikian adanya, namun masih ada segelintir putra Aceh yang turut serta menggali khazanah endatunya, salah satunya adalah Teuku Iskandar yang telah meraih gelar Professor dalam bidang kajian Sastera Melayu Klasik dimana beliau telah mendapatkan gelar Doctor di negeri Belanda dengan disertasi yang berjudul “Hikayat Aceh” dan juga menulis buku “Kesusasteraaan Klasik Melayu Sepanjang Abad” serta menyusun kamus dewan bahasa Melayu yang perdana. Adapun diantara thesis terbaru yang pernah ditulis oleh putera Aceh untuk meraih gelar Master adalah Drs. Nurdin AR, M. Hum dengan judul: ”Mir’atul Muhaqqiqin ; Suntingan Text dan Analis Resepsi” tahun 1999 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, serta Syarifuddin M. Ag dengan judul : “Doktrin Wujudiah dalam Syair Hamzah Fansuri” yang diajukan kepada IAIN Ar-Raniry tahun 2000. Akan tetapi, menurut hemat penulis, partisipasi putera Aceh untuk meneliti hasil karya endatu mereka belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang telah dibuat oleh peneliti asing dari dunia barat khususnya. Oleh karena itu, tidak salah kalau dikatakan bahwa, Aceh di mata para ilmuan dan peneliti asing adalah ibarat sebuah laboratorium yang maha luas untuk membuat berbagai macam kajian dan riset ilmiah.
Sebenarnya harus diakui bahwa selain sederetan nama yang telah tersebut di atas, masih banyak lagi ilmuan dan peneliti lain yang telah “jatuh hati” untuk membuat kajian ataupun riset ilmiah tentang karya-karya sastera agung yang pernah ditulis di tanah Aceh. Kajian-kajian tersebut tidak mungkin saya uraikan satu persatu di dalam tulisan yang sangat ringkas ini, karena terlalu banyak untuk disebutkan. Bahkan menurut saya sudah sepatutnya untuk disusun sebuah buku ensiklopedi yang termuat di dalamnya daftar penulis, judul dan isi ringkas tentang semua kajian ilmiah terhadap peninggalan sastrawan-sastrawan agung di tanah Aceh. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara ril seberapa banyak kajian ilmiah yang telah dilaksankan dari dulu sampai sekarang Dan buku ensiklopedi tersebut harus di up date setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa animo para peneliti dan pengkaji – khususnya dari dunia barat - tentang hasil karya sasterawan Aceh sangat tinggi sejak dulu kala.

Lembaga Pusat Kajian Aceh
Saya juga sependapat bahwa Aceh sangat ketinggalan dalam dunia riset ataupun kajian ilmiah bila dibandingkan dengan negara-negara lain sebagaimana yang diutarakan oleh saudara Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad. Dan untuk menjawab permasalahan itu, sudah tepat kiranya BRR berkomitmen untuk meng follow up hasil seminar international yang diadakan beberapa bulan yang lalu yaitu membentuk sebuah badan atau lembaga kajian Aceh yang bertaraf international. Menurut hemat saya, lembaga kajian tersebut dikelola langsung oleh institusi perguruan tinggi apakah IAIN Ar-Raniry ataupun UNSYIAH. Karena pusat kajian ini akan terus hidup dan berkembang kalau dikelola oleh kampus. Hal ini dapat kita lihat di beberapa university di luar negara, contoh dekatnya saja National University of Singapore (NUS) dengan sebuah lembaga kajiannya “Asia Research Institute” atau The University of Sydney dengan lembaga penelitiannya “The Research Institue for Asia and Pasific”. Kedua lembaga penelitian tersebut telah membuat banyak penelitian dan publikasi terhadap warisan masa lalu di benua Asia -termasuk Aceh- dan terhadap berbagai isu-isu kontemporer yang sedang hangat dibicarakan di Asia.
Oleh karena itu, keberadaan lembaga kajian yang akan dibentuk ini sangat signifikan dalam mempromosikan Aceh ke dunia international dengan segala potensi yang dimiliki oleh Aceh masa dulu, sekarang dan akan datang. Dan yang paling terpenting adalah, lembaga ini akan menampung para peneliti muda yang menjadi sumber daya manusia yang handal. Karena apapun cerita, penelitian atau riset lah yang telah membuat negara-negara eropa maju seperti sekarang ini.

Penutup
Tulisan yang sangat ringkas ini ingin mengajak kita untuk berfikir bahwa Aceh tanah yang bertuah adalah pusat dan sumber kekayaan ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah pernah diukir oleh sejarah dulu dengan tinta emasnya. Untuk itu, sepatutnya kita merasa malu dengan orang asing yang telah jauh berperan dalam menggali khazanah warisan Aceh masa lampau dengan berbagai penelitian yang mereka lakukan. Selama ini yang terjadi adalah banyak ilmuan dan sarjana asing yang membuat kajian tentang Aceh dan pada waktu yang sama hanya sedikit saja putera Aceh yang menaruh perhatian terhadap kekayaan yang dimiliki oleh Aceh.
Makanya, selaku generasi baru, sekarang lah saatnya kita harus mengembangkan warisan endatu kita dulu dengan cara menghidupkan kembali Aceh sebagai pusat ilmu pengetahuan yang menjadi rujukan bagi dunia international. Hal ini dapat diwujudkan melalui sebuah lembaga riset yang mempunyai standar international, sehingga Aceh akan berada dibawah kajian orang Aceh sendiri. Jadi, dengan adanya lembaga riset ini banyak generasi Aceh yang akan mengalihkan perhatian mereka pada khazanah Aceh dengan berbagai dimensi yang ada. Semoga saja semangat untuk mendirikan lembaga riset oleh BRR bukan hanya sekedar “su-um su-um ek manok”. Dan semoga saja generasi Aceh tidak hanya mampu bermimpi dan bernostalgia dengan prestasi-prestasi masa lalu. Kalau bukan sekarang, kapan lagi !
[1] Penulis adalah mahasiswa Master of Human Science with specialization in Arabic Literature Studies, International Islamic University Malysia (IIUM) Kuala Lumpur, sementara ini berdomisili di Kuala Lumpur. Email : zul_aceh@yahoo.com

1 comment:

  1. Subhanallah,, bagus-bagus bgt artikel di blog ustadz... jangan lupa kunjungi forum alumnus dayah ulumuddin di http://4dien.isgreat.org ustadz ya..

    ReplyDelete