Friday, January 2, 2009

Siapa Bilang Meutia Gak Boleh Shalat Jumat

Siapa Bilang Meutia Gak Boleh Shalat Jumat ?
(Sebuah Tanggapan atas Tulisan Dian Guci)
Oleh : Zulhelmi, MHSc. ALIS[*]

MUQADDIMAH
Sejenak tergelitik ketika saya membaca tulisan saudari Dian Guci yang seolah-olah ingin menjadi pahlawan kesiangan dalam isu jender di Aceh hari ini. Dengan sangat berani dan tanpa beban, Dian Guci mendobrak ajaran Islam yang sudah bersifat kaku dan tidak bisa dirubah-rubah lagi. Dian Guci malah mengambil sebuah contoh kasus Dr. Amina Wadud di Amerika Serikat sebagai barometer untuk kesetaraan jender di Aceh. Sungguh sebuah dobrakan yang sangat berani dari tulisan Dian Guci dan sejauh yang saya ketahui belum ada orang lain yang mendahuluinya.
Akan tetapi kalau diteliti lebih lanjut lagi, sebenarnya banyak sekali kerancuan yang saya dapatkan dalam tulisan Dian Guci. Antara lain, pertama : dalam judul tulisannya Dian Guci mempertayakan kenapa perempuan tidak boleh shalat Jumat? Sementara harapan yang dituntut di dalam ulasannya – berdasarkan judul - adalah alasan-alasan serta jawaban yang kongrit untuk menjawab pertanyaan dari mengapa. Kalau pertanyaannya mengapa, pasti jawabannya karena. Nah inilah yang tidak saya temukan di dalam tulisan Dian Guci. Tidak etis seorang penulis setelah melemparkan permasalahan kemudian ia lari dari masalah itu sendiri dan meninggalkan kesan yang tidak baik bagi pembaca lainnya. Katakanlah Dian Guci secara sengaja membiarkan pembaca supaya ingin memberikan jawaban untuknya – karena keterbatasan ilmu agama yang dimilikinya – namun tidak selayaknya sang penulis memberikan klaim-klaim yang menjurus kepada pelecehan nilai agama Islam, seperti menggugat keotentikan hadist shahih Bukhari Muslim.
Kedua, ketidaksesuaian antara judul dengan isi tulisan. Dari judul, sang penulis mempertanyakan mengapa wanita tidak boleh shalat Jumat. Akan tetapi ketika kita membaca tulisannya, ternyata dia telah mengalihkan pembahasan kepada perkara yang lain lagi, yaitu mengapa wanita tidak boleh menjadi imam shalat yang makmumnya laki-laki. Antara shalat jumat dengan syarat menjadi imam adalah dual perkara yang berbeda dan tidak bisa disamakan.
Ketiga, Dian Guci tidak konsinten atau tidak tetap pendirian dengan pemikirannya sendiri. Pada satu sisi dia mengakui bahwa ajaran Nabi Muhammad SAW telah mengangkat derajat kaum wanita dan telah merobohkan tradisi jahiliah yang tidak menghormati kaum wanita. Sementara pada sisi lain, Dian Guci berpendapat bahwa ajaran nabi Muhammad belum sepenuhnya menghormati kaum wanita. Hal ini Nampak ketika dia ingin menggiring pembaca supaya wanita diberikan hak yang sama dalam semua perkara, termasuk perkara ibadat. Menurutnya – walaupun dia sempat berkilah bahwa kasus Dr. Amina Wadud tidak seharusnya kita setujui – wanita itu sama haknya seperti laki-laki dan tidak boleh ada perbedaan antara keduanya, termasuk dalam persoalan ritual agama, seperti hak wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki. Buktinya, di beberapa kesempatan dia setuju dengan tindakan Dr. Amina Wadud dan seolah-oleh ingin menjadikannya sebagai barometer dalam isu jender di Aceh.
JAWABAN BUAT AYAH MEUTIA
Di dalam tulisan ini saya ingin membantu ayah Meutia yang belum mampu memberikan jawaban yang memuaskan kepada anak kesayangannya itu. Bahwa sebenarnya tidak ada larangan dalam agama Islam bagi perempuan untuk shalat Jumat di mesjid seperti laki-laki. Namun hukumnya bukan wajib akan tetapi sunat. Amin bin Yahya di dalam bukunya yang berjudul al-Fatawa al-Jamiah lil Mar-ah Muslimah mengatakan bahwa seorang perempuan yang telah melakukan shalat Jumat, maka dia tidak diwajibkan lagi untuk melaksanakan shalat zhuhur.(Amin bin Yahya: hal 153-154). Artinya dalam hal ini, shalat sunat mampu menutupi shalat fardhu bagi kaum wanita. Bahkan ini adalah sebuah nilai plus bagi perempuan karena tidak diwajibkan shalat Jumat. Bagi yang laki-laki saja masih ada yang susah untuk menunaikan kewajiban ini, sehingga kalau di Aceh kita mendapatkan adanya razia-razia oleh polisi syariat atau WH bagi kaum lelaki yang tidak mau shalat Jumat. Bisa dibayangkan bagaimana kalau sempat kaum wanita juga diwajibkan untuk shalat Jumat. Jadi intinya, bahwa shalat Jumat hukumnya sunat (bukan haram) bagi kaum wanita dan wajib bagi kaum lelaki. Dan begitu juga untuk melaksanakan shalat fardhu lima waktu, boleh-boleh saja dilakukan oleh kaum wanita di mesjid (tidak ada larangan) sebagaimana hadist yang telah dikutip oleh Yusnadi, salah seorang komentator atas tulisan Dian Guci.
Sementara itu, untuk menjawab pertanyaan mengapa wanita tidak diperbolehkan menjadi imam shalat kepada makmum laki-laki? Lantas apakah ini berarti bahwa ajaran Islam telah melakukan diskriminasi terhadap perempuan? Jawabannya, memang agama telah menetapkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam kepada laki-laki. Dan hal ini adalah bersifat mutlak, tidak bisa diganggu gugat serta ditafsirkan kembali oleh siapa dia. Karena ajaran Islam itu ada yang bersifat qath’ie yaitu perkara-perkara yang sudah baku dan tidak boleh diamandemen lagi dan ada yang bersifat dhannie, yaitu perkara-perkara yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat.
Nah larangan perempuan menjadi imam ini, termasuk ke dalam ajaran Islam yang sifatnya qath’ie dan tidak boleh mutjahid manapun untuk merubahnya. Namun demikian, larangan ini tidak boleh divonis bahwa Islam tidak menghargai perempuan, Islam tidak bersifat adil, Islam tidak menjunjung tinggi kesetaraan gender. Akan tetapi di sana ada hikmah yang sangat besar yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia secara menyeluruh. Salah satu hikmahnya adalah, justru dengan larangan tersebut agama Islam menjaga martabat wanita dan meninggikan derajatnya. Hal ini sebagaimana yang tersirat dari salah seorang komentator atas tulisan Dian Guci lainnya, bahwa wanita itu dikarunia oleh Tuhan berupa bentuk fisik yang sangat indah. Pendapat ini tidak salah, bahkan turut didukung oleh sebuah adagium yang mengatakan bahwa, barangsiapa yang ingin mengenal Tuhannya, maka lihat lah wanita. Oleh karenanya Islam ingin menjaga kehormatan atas karuni tersebut dengan upaya-upaya yang bersifat preventive. Makanya, salah besar kalau kita mengambil larangan ini sebagai landasan bahwa Islam telah memperlakukan perempuan secara tidak adil dan diskriminatif.
KESETARAAN GENDER DI ACEH
Isu kesetaraan gender yang sangat hangat diperbincangkan seiring dengan semakin luasnya kran reformasi dan alam demokrasi di Indonesia adalah bukan hal yang tabu bagi masyarakat Aceh. Oleh karena nya, ketika saudari Dian Guci mengangkat sebuah studi kasus Dr. Amina Wadud – dulunya sempat menjadi dosen di tempat saya kuliah – untuk membicarakan masalah gender, adalah hal yang tidak tepat untuk daerah Aceh. Karena Aceh sejak dulu kala telah setia menganut ajaran-ajaran syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Masyarakat Aceh sangat kental dengan Islam karena sejak kecilpun telah mendapat didikan tentang ajaran Islam baik dari keluarga, meunasah, rangkang seumeubeut, dayah, sekolah dan sampai ke perguruan tinggi. Jadi kita tidak bisa menyamakan masyarakat Islam di Aceh dengan masyarakat Islam di Amerika Syarikat.
Masyarakat Aceh telah menganut ajaran kesetaraan gender sejak dulu lagi. Sejarah menulis dengan tinta emasnya bahwa ada 4 (empat ) orang ratu yang memimpin Aceh dalam rentan waktu yang cukup lama dan bahkan dibawah pimpinan mereka Aceh semakin disegani oleh dunia international. Mereka adalah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675); Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678); Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688) dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699). Dan juga Aceh memiliki panglima perang yang ditakuti oleh musuh, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Mutia, Laksamana Malahayati dan lain sebagainya. Mereka telah membuktikan kepada dunia bahwa, ternyata perempuan juga punya andil yang sama dengan laki-laki, baik dalam bidang politik, status social, economi dan tidak dalam bidang agama.


PENUTUP
Oleh karenanya, isu kesetaraan gender yang telah melangkahi ajaran agama Islam tidak layak bahkan tidak cocok untuk diangkat di Aceh, karena masyarakat Aceh adalah masyarakat yang taat kepada ajaran agama Islam serta kental dengan nuansa yang islami. Antara Islam dan Aceh tidak bisa dipisahkan, ibarat sekeping uang logam yang mempunyai dua sisi. Masyarakat Aceh tidak mau melangkahi ajaran Tuhan, karena mereka sangat yakin seyakin-yakin nya bahwa di sana banyak sekali hikmah dari ajaran Islam yang melindungi martabat wanita. Makanya di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak kepada seluruh pegiat isu kesetaraan gender yang ada di Aceh, baik secara personal maupun secara kelembagaan, kalau ingin mengangkat isu gender, maka angkatlah isu tersebut yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena kebanyakan isu gender yang dihembus selama ini terkesan ada “misi yang terselubung” di balik makna demokrasi dan hak asasi manusia. Dan satu lagi yang sangat penting adalah, kita tidak boleh berkiblat ke barat untuk membela hak-hak kaum wanita di Aceh, akan tetapi berkiblat lah ke jati diri kita di masa lalu yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Wallahu ‘alam bisshawab.




[*] Penulis adalah alumni program Master of Human Sciences with specialization in Arabic Literary Studies, di International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia. Untuk saat ini berdomisili di Meunasah Tutong, Montasik, Aceh Besar. Email : zul_aceh@yahoo.com

No comments:

Post a Comment