Friday, January 2, 2009

Sejauh Manakah Perhatian Kita Terhadap Pendidikan

Sejauh Manakah Perhatian Kita Terhadap Pendidikan?
Oleh : Zulhelmi. SS, MA[1]

Dulu, ketika Jepang hancur berkeping-keping dibom oleh tentara sekutu, maka pertanyaan yang pertama muncul dari mereka yang terselamatkan dari bencana besar tersebut adalah berapa orang guru, dosen dan professor kita yang masih hidup? Langkah pertama yang diambil oleh orang Jepang setelah mengalami kehancuran tersebut adalah membangun kembali sektor pendidikan. Mereka sangat yakin bahwa hanya dengan pendidikanlah sebuah bangsa akan maju dan berkembang. Oleh karena itu, seluruh generasi yang tinggal ketika itu dikirim keluar negara untuk menuntut ilmu dan mereka mulai membangun negaranya ketika pulang. Wal hasil, sekarang Jepang telah berubah dari negara yang dulunya hancur berkeping-keping menjadi negara yang sangat maju yang disegani oleh dunia.
Indonesia, walaupun 10 tahun lebih duluan merdeka daripada adeknya Malaysia, namun sekarang Malaysia jauh lebih maju bila dibandingkan dengan kakaknya Indonesia. Ternyata salah satu faktor yang membuat mereka lebih maju dari pada kita adalah pemerintahnya lebih mementingkan sektor pendidikan dalam membangun negara. Salah satu program mereka dalam membangun sektor pendidikan adalah pengiriman 1000 orang mahasiswa dalam setahun untuk menuntut ilmu di negara luar. Bayangkan berapa anggaran dana negara yang dikuras untuk misi ini, belum lagi ditambah dengan fokus pemerintah terhadap peningkatan mutu pendidikan dalam negerinya sendiri. Malaysia sangat optimis bahwa hanya generasi yang memiliki pendidikan tinggi adalah modal yang sangat besar dalam membangun negara.
Tan Sri Sanusi Junid – salah seorang anak Aceh yang telah menjadi tokoh besar di Malaysia – pernah menceritakan pengalamannya puluhan tahun yang lalu ketika berkunjung ke negara Quba. Di sebuah hotel berbintang lima ketika beliau sedang berbincang-bincang dengan presiden Quba yang didampingi oleh para menterinya, tiba-tiba muncul seekor tikus besar di tengah-tengah mereka. Otomatis kehadiran tikus ini mengejutkan para tamu dari Malaysia dan tidak bagi presiden Quba dan para menterinya. Kemudian mereka bertanya, kenapa bisa ada tikus di sebuah hotel berbintang lima dan kenapa tidak ada usaha untuk membasminya? Dengan santai sang presiden menjawab, daripada susah-susah memikirkan tikus dan membuang-buang uang negara, lebih baik kami gunakan uang tersebut untuk membangun sektor pendidikan. Ternyata perhatian pemerintah Quba terhadap pendidikan sangat besar dan terbukti bahwa anggaran pembelanjaan negara lebih difokuskan pada pendidikan dengan mengeyampingkan segala keperluan yang tidak begitu signifikan. Dan hasilnya, hari ini Quba adalah negara terbesar kelima di dunia yang menguasai tehnologi.
Setelah melihat pengalaman dari tiga buah negara yang memberikan perhatian penuh pada sektor pendidikan, pada tulisan ini saya ingin membandingkan sejauh mana perhatian kita, khususnya pemerintah daerah - walaupun tidak layak untuk membuat perbandingan antara sebuah negara dengan sebuah provinsi, namun pengalaman mereka sangat berharga dan patut diikuti - terhadap pendidikan. Untuk menjawab persoalan ini, saya ingin lebih dahulu berasumsi bahwa pemerintah daerah kita belum memberikan perhatian penuh dalam sektor pendidikan.
Asumsi saya tersebut setidaknya didukung oleh beberapa fakta penting sejak Aceh dipimpin oleh gubernur Abdullah Puteh sampai dengan sekarang yang dipimpin oleh gubernur Irwandi Yusuf. Masih terbayang dipikiran kita, ketika Abdullah Puteh menjabat sebagai gubernur, beliau pernah mengalihkan anggaran dana pendidikan yang cukup lumanyan besar untuk membuat PKA ke empat. Terlepas dari alasan yang dibuat-buat bahwa PKA itu bagian dari pendidikan, namun yang penting anggaran dana yang sudah jelas-jelas untuk pendidikan tapi dialihkan untuk keperluan yang lain. Hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang pernah dilakukan oleh presiden Quba.
Dengan tidak bermaksud mengungkit kembali persoalan yang telah diklarifikasi oleh pihak yang berwenang, baru-baru ini kita digemparkan kembali dengan berita bahwa anggaran dana pendidikan sebanyak Rp. 1,2 Milyar akan digunakan untuk bersiar ke luar negeri (Serambi Indonesia/14-4-2008) yang keesokan harinya langsung diklarifikasi kembali oleh kepala dinas Pendidikan NAD Mohd Ilyas MM, bahwa perencanaan tersebut telah dibatalkan (Serambi Indonesia/15-42008). Ini adalah berita yang paling menghebohkan public untuk sementara waktu. Walaupun rencana ini telah dibatalkan, namun rakyat sudah dapat menilai sejauh mana para elite kita serius untuk membangun sektor pendidikan. Belum lagi berbagai bentuk penyelewengan lain yang terjadi sebelumnya terhadap dunia pendidikan, seperti penyelewengan dana peningkatan mutu guru, pemotongan beasiswa oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai alasan, penyunatan gaji guru kontrak atau honor dan lain-lain yang telah menghambat proses pendidikan di Aceh.
Walaupun gubernur Irwandi Yusuf beserta wakilnya Muhammad Nazar pernah berjanji di awal masa kampanyenya bahwa mereka akan lebih memperhatikan sektor pendidikan, bahkan sang Wagub sendiri sering mengalukan-alukan betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan Aceh di masa depan, namun sejauh ini belum ada fakta yang kuat membuktikan bahwa mereka telah memenuhi janjinya.
Dari sederetan peristiwa yang terjadi jelas bahwa secara umum, keseriusan PEMDA kita belum menunjukkan keyakinannya bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk membangun Aceh yang maju. Padahal setelah ditimpa musibah besar sunami, Aceh memiliki anggaran dana yang sungguh luar biasa banyak, baik yang bersumber dari donasi negara-negara luar maupun dari APBD sendiri. Diakui atau tidak namun jelas bahwa PEMDA kita belum berani memplotkan anggaran pembelanjaan daerahnya pada pendidikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh tiga contoh negara tadi.
Tidak usah jauh-jauh kita menilai, ketika musibah sunami datang yang merupakan bencana alam terbesar disepanjang sejarah manusia - bahkan lebih dahsyat dari pada bencana bom atom di Jepang – adakah kita teringat berapa orang professor, dosen, guru yang masih hidup? Adakah kita mempertanyakan berapa rumah sekolah dan universitas yang terselamatkan? Tentu jawabnnya tidak. Dan ini cukup menjadi barometer dalam diri pribadi kita masing-masing sejauh mana perhatian kita terhadap pendidikan.
Tulisan saya yang sangat singkat ini ingin menggugah perhatian kita terhadap dunia pendidikan di Aceh. Sebuah perhatian yang membutuhkan kerja nyata di lapangan bukan hanya sekedar berteori atau beretorika semata. Kita semua rakyat Aceh – pihak PEMDA, DPRD dan seluruh lapisan masyarakat – mesti menyadari bahwa hanya dengan pendidikanlah Aceh akan jaya dan maju di masa yang akan datang. Semoga di era kepempinan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, pendidikan di Aceh akan mendapatkan perhatian yang lebih serius lagi yang dibuktikan dengan tidak adanya lagi generasi Aceh yang putus sekolah dan mereka akan berhak menerima pendidikan tinggi, sehingga nanti pada suatu saat Aceh akan memilki banyak ilmuan, professor dan para doktor yang akan membangun Aceh dengan kapasitas keilmuannya masing-masing sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara maju lainnya. Amin ya rabbal alamin…
[1] . Penulis adalah alumni pasca sarjana International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur. Email : zul_aceh@yahoo.com

No comments:

Post a Comment