Tuesday, December 6, 2011

Agar Dosen Tidak Malas

Oleh : Zulhelmi[*]

Membaca opini saudara Denni Iskandar dengan judul “Dosen malas” (Serambi Indonesia: 04–10–2011) membuat hati saya sedih dan kemudian tergugah untuk melanjutkan pembicaraannya seputar profesi dosen. Memang harus diakui bahwa fenomena dosen malas mengajar dan jarang datang ke kampus, bukan hanya saja dialami oleh mahasiswa PGSD UNSYIAH semata, melainkan juga dialami oleh Perguruan Tinggi Negeri lainnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa hal itu bisa terjadi ?

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendukung atau membela para dosen yang malas mengajar dan tidak pula menyalahkan mereka secara mutlak. Karena menyalahkan satu pihak semata dalam sebuah kasus juga tidak bijaksana. Hanya saja, saya ingin melihat persoalan ini secara objektif dengan melihat kepada beberapa factor-baik secara individual maupun lembaga- sehingga permasalahan ini bisa ditangani secara baik.

Oleh karena itu, maka dalam opini yang sangat singkat ini, setidaknya saya ingin menawarkan beberapa solusi sebagai wacana awal dan juga sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berwenang untuk mengatasi permasalahan ini di kampus secara komprehensif dan terpadu.

Terlepas dari pro dan kontra, bahwa sebagai seorang PNS yang terikat dengan peraturan negara, harus diakui bahwa dosen memang wajib berada di kampus selama jam dinas. Persoalannya kemudian adalah, bagaimana membuat supaya dosen betah berada di kampus? Yang Pertama : menyediakan fasilitas untuk dosen berupa ruang khusus dimana dosen merasa nyaman berada di dalamnya. Ruang ini bersifat pribadi, bukan seperti pasar ikan dan dilengkapi fasilitas internet, komputer, almari, meja, kursi, telefon, AC dan lain sebagainya yang dianggap perlu untuk menunjang profesionalitas seorang dosen.

Kedua, setelah mereka diberikan fasilitas yang sedemikian rupa, maka harus ada peraturan yang tegas untuk mengikat dosen. Seperti memberlakukan absent kehadiran harian, menempelkan jadwal konsultasi kepada mahasiswa pada tiap-tiap pintu ruang khusus tersebut di atas, sehingga mahasiswa dengan mudahnya menemui dosen untuk keperluan akademik. Selain itu, baik absent kehadiran harian maupun kehadiran mengajar, harus bersifat online alias tidak boleh manual, sehingga tidak bisa dirapel atau dimanipulasi.

Ketiga, mewajibkan dosen untuk berkreatifitas dengan hasil yang nyata berupa penelitian atau karya ilmiah pada tiap-tiap semester. Kewajiban ini juga harus dibarengi dengan fasilitas lain seperti langganan journal baik secara online maupun manual dan fasilitas peminjaman buku di perpustakaan kampus dengan jumlah yang lebih banyak dari mahasiswa.

Keempat, memberikan gaji dan tunjangan yang memadai sehingga dosen tidak tergiur untuk mencari “income” dari luar. Jadi mustahil rasanya, kalau pada satu sisi dosen diikat dengan peraturan dan disiplin yang ketat di dalam kampus, namun di sisi lain kebutuhannya sebagai seorang manusia tidak terpenuhi secara baik.

Kelima, memberikan sangsi yang tegas kepada dosen yang melalaikan kewajibannya, seperti penundaan gaji dan tunjangan, penundaan kenaikan pangkat bahkan sampai pada tahap pemecatan. Sangsi ini sangat penting supaya ada efek jera bagi dosen lain dan yang lebih penting lagi supaya peraturan bisa berjalan secara baik. Selama ini yang terjadi hampir dimana-mana adalah bahwa antara pegawai yang rajin dan malas atau pegawai yang dispilin dan yang indislipiner, sama-sama menerima hak secara utuh tanpa ada perbedaan sedikitpun. Dengan bahasa lain, tidak ada sanksi terhadap pelanggar demikian juga tidak ada penghargaan terhadap pegawai yang teladan. Tentunya kalau ini masih terjadi, maka kapanpun dan dimanapun, saya jamin bahwa peraturan tidak akan pernah berjalan.

Keenam, membuka seluas-luasnya kesempatan kepada mahasiswa untuk memberikan penilaian terhadap kinerja dosen mereka, apakah mereka puas ataupun tidak dilayani oleh dosen sesuai dengan bidang akademiknya masing-masing? Penilaian ini bukan hanya formalitas semata atau sensasi semata, melainkan juga berpengaruh kepada pemberian sanksi sebagaimana tercantum dalam poin kelima.

Tentunya masih banyak lagi tawaran solusi lainnya yang bisa diberikan. Tapi karena tulisan ini bersifat sebagai wacana awal untuk membuka wacana selanjutnya, maka saya sangat yakin masih ada ruang selajutnya untuk mendiskusikannya secara panjang lebar.

Mungkin, akan ada penilaian bahwa beberapa tawaran solusi saya di atas terlalu muluk-muluk dan terlalu melangit untuk diterapkan. Namun, begitulah idealnya menjadi seorang dosen di kampus. Dosen yang ideal adalah dosen yang hanya berdedikasi pada satu universitas saja, yaitu satu tempat dimana ia ditugaskan oleh negara. Ia tidak boleh mengajar di tempat lain dan juga tidak boleh bekerja sampingan di lembaga lain. Kalaupun ada aktifitas di luar kampus, maka tidak boleh terlepas dari kegiatan yang menunjang profesionalitasnya, seperti memberikan atau mengikuti seminar, membuat penelitian di lapangan dan mengabdi pada masyarakat sesuai dengan tri dharma perguruan tinggi. Itu idealnya menjadi seorang dosen.

Sekarang saatnya kita berhenti sejenak untuk merenungi akar permasalahan yang paling utama di atas, apakah patut hanya dosen yang disorot dan dikambinghitamkan sebagai pegawai yang malas serta melalaikan tugas dan kewajibannya? Sejauh mana sudah kesejahteraan dosen diberikan oleh negara? Sejauh mana pula system yang diterapkan selama ini di kampus dalam mewujudkan sebuah kampus yang ideal? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang masih bisa dimunculkan. Tentu jawabannya bukan pada pribadi seorang dosen semata, melainkan ada pada banyak pihak. Ingat bahwa menyelesaikan sebuah permasalahan tidak boleh dilihat pada satu sisi saja, tapi harus juga dilihat dari banyak sisi. Artinya menyelesaikan sebuah permasalahan harus secara komprehensif dan terpadu, jangan seperti mengakkan benang basah.

Dan diujung tulisan ini saya ingin menegaskan bahwa saya tidak bermaksud untuk membela atau mendukung dosen yang melalaikan tugas dan kewajibannya. Apapun cerita, bahwa kewajiban itu harus dipenuhi oleh setiap pegawai negeri termasuk dosen. Namun, persoalannya adalah, apakah antara hak dan kewajiban sudah berjalan seimbang atau belum? Di sinilah akar permasalahan yang sesungguhnya terjadi.

Akhiirul Kalam, saya ingin mengajak para dosen untuk tidak melupakan kewajiban dan tanggungjawab mereka sebagai pendidik anak bangsa. Di samping itu juga saya mengajak para pejabat negara yang berwenang dan mempunyai kapasitas untuk membenahi system di dalam perguruan tinggi supaya kualitas pendidikan kita akan disegani oleh dunia luar. Semoga !!! Tanda Tangan Penulis



[*] Penulis adalah dosen IAIN Ar-Raniry dan sedang studi S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

No comments:

Post a Comment