Friday, January 2, 2009

Aceh di Mata Ilmuan Asing

Aceh di Mata Ilmuan Asing
Oleh : Zulhelmi Z.A[1]


Mukaddimah
Tulisan ini bertujuan untuk melanjutkan beberapa pandangan yang terdapat dalam opini saudara Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad yang berjudul : Beberapa Agenda Tercecer dalam Study Aceh (Serambi Indonesia : 14/3/2007). Walaupun sudah agak lama berlalu, namun saya merasa tertarik untuk mengangkatnya kembali. Saya sangat sepakat bahwa study Aceh tidak menjadi hal yang menarik di kalangan orang Aceh sendiri. Justru orang barat dan orang asing (bukan putera Aceh) sudah banyak mengkaji dan membuat riset tentang Aceh.
Mungkin kalau saudara Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad dalam opininya lebih cenderung kepada kajian sejarah, sosiologi dan antropologi, karena itu memang spesialisasi beliau, maka saya ingin mengajak kita untuk melihat Aceh dalam dunia sastera. Karena kalau saya melihat bahwa study Aceh dalam kajian sastera telah lama diminati oleh para sarjana asing sejak dulu kala lagi.

Aceh dan Dunia Sastera
Adapun yang saya maksudkan di sini dengan dunia sastera adalah dunia sastera Melayu klasik yang kira-kira kembali pada abad ke-12 masehi. Kalau kita membuka senarai riset atau kajian yang sudah pernah dilakukan oleh para sarjana asing, maka kita akan mendapatkan sederetan tokoh-tokoh sasterawa Aceh yang telah mambawa nama harum bangsa Aceh ke dunia international. Diantara mereka yang sangat termasyhur adalah Hamzah Fansuri, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-sumatera-i, Syiah Kuala, Bukhari al-Jauhari, Syeikh Abdur Rauf As-Singkili, Jamaluddin Tursani dan lain-lain. Bahkan salah seorang sarjana barat yang bernama A.Teeuw telah menetapkan Hamzah Fansuri sebagai tokoh perintis pertama sastera Melayu di nusantara ini.

Para Sarjana Asing
Di antara para sarjana asing dari dunia barat yang telah banyak membuat riset tentang kegemilangan sastera Melayu di Aceh masa lampau adalah Vladimir Braginsky dengan salah satu bukunya yang berjudul “The Heritage of Traditional Malay Literature”. Dalam buku itu beliau mengupas tentang karya-karya sastera yang dihasilkan di Aceh seperti “Hikayat Raja Pasai”, “Tajus salatin”, “Bustanus Salatin” “Hikayat Indraparta” dan lain-lain. Di samping itu G.W.J Drewes dan L.F Brakel telah menulis salah satu buku mereka yang berjudul “The Poem of Hamzah Fansuri”. Kemudian A. Teeuw, juga menulis buku “The Malay Sha’ir ; Problems of Origin and Tradition”. Sementara A. Hill dan Russel Jones telah mengkaji “Hikayat Raja Pasai” di dalam sebuah buku khusus secara terpisah.
Kemudian di samping buku-buku tersebut, kajian ataupun riset ilmiah untuk mendapatkan gelar Master ataupun Doktor, tidak sedikit yang membahas tentang karya-karya sastera besar yang telah dilahirkan di Aceh, diantaranya C.A.O. Nieuwenhujze meraih gelar doctornya di Leiden University dengan menulis disertasi “Shamsu’l – Din Pasai : Bijdrage tot de Kennis der Sumatransche Mystiek”. Dan satu-satunya orang Malaysia yang pertama telah memperkenalkan ajaran-ajaran Hamzah Fansuri ke dunia Eropa adalah Syed Muhammad Naguib Al-Attas dengan disertasi doctoralnya yang berjudul “The Mysticism of Hamzah Fansuri”. Disertasi tersebut telah disidangkan di University of London, tepatnya di The School of Oriental and African Studies (SOAS) tahun 1966 dan masih banyak lagi sederet nama-nama lain yang bukan berdarah Aceh telah menggali khazanah sastera Aceh masa lampau. Walaupun demikian adanya, namun masih ada segelintir putra Aceh yang turut serta menggali khazanah endatunya, salah satunya adalah Teuku Iskandar yang telah meraih gelar Professor dalam bidang kajian Sastera Melayu Klasik dimana beliau telah mendapatkan gelar Doctor di negeri Belanda dengan disertasi yang berjudul “Hikayat Aceh” dan juga menulis buku “Kesusasteraaan Klasik Melayu Sepanjang Abad” serta menyusun kamus dewan bahasa Melayu yang perdana. Adapun diantara thesis terbaru yang pernah ditulis oleh putera Aceh untuk meraih gelar Master adalah Drs. Nurdin AR, M. Hum dengan judul: ”Mir’atul Muhaqqiqin ; Suntingan Text dan Analis Resepsi” tahun 1999 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, serta Syarifuddin M. Ag dengan judul : “Doktrin Wujudiah dalam Syair Hamzah Fansuri” yang diajukan kepada IAIN Ar-Raniry tahun 2000. Akan tetapi, menurut hemat penulis, partisipasi putera Aceh untuk meneliti hasil karya endatu mereka belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang telah dibuat oleh peneliti asing dari dunia barat khususnya. Oleh karena itu, tidak salah kalau dikatakan bahwa, Aceh di mata para ilmuan dan peneliti asing adalah ibarat sebuah laboratorium yang maha luas untuk membuat berbagai macam kajian dan riset ilmiah.
Sebenarnya harus diakui bahwa selain sederetan nama yang telah tersebut di atas, masih banyak lagi ilmuan dan peneliti lain yang telah “jatuh hati” untuk membuat kajian ataupun riset ilmiah tentang karya-karya sastera agung yang pernah ditulis di tanah Aceh. Kajian-kajian tersebut tidak mungkin saya uraikan satu persatu di dalam tulisan yang sangat ringkas ini, karena terlalu banyak untuk disebutkan. Bahkan menurut saya sudah sepatutnya untuk disusun sebuah buku ensiklopedi yang termuat di dalamnya daftar penulis, judul dan isi ringkas tentang semua kajian ilmiah terhadap peninggalan sastrawan-sastrawan agung di tanah Aceh. Tujuannya adalah untuk mengetahui secara ril seberapa banyak kajian ilmiah yang telah dilaksankan dari dulu sampai sekarang Dan buku ensiklopedi tersebut harus di up date setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa animo para peneliti dan pengkaji – khususnya dari dunia barat - tentang hasil karya sasterawan Aceh sangat tinggi sejak dulu kala.

Lembaga Pusat Kajian Aceh
Saya juga sependapat bahwa Aceh sangat ketinggalan dalam dunia riset ataupun kajian ilmiah bila dibandingkan dengan negara-negara lain sebagaimana yang diutarakan oleh saudara Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad. Dan untuk menjawab permasalahan itu, sudah tepat kiranya BRR berkomitmen untuk meng follow up hasil seminar international yang diadakan beberapa bulan yang lalu yaitu membentuk sebuah badan atau lembaga kajian Aceh yang bertaraf international. Menurut hemat saya, lembaga kajian tersebut dikelola langsung oleh institusi perguruan tinggi apakah IAIN Ar-Raniry ataupun UNSYIAH. Karena pusat kajian ini akan terus hidup dan berkembang kalau dikelola oleh kampus. Hal ini dapat kita lihat di beberapa university di luar negara, contoh dekatnya saja National University of Singapore (NUS) dengan sebuah lembaga kajiannya “Asia Research Institute” atau The University of Sydney dengan lembaga penelitiannya “The Research Institue for Asia and Pasific”. Kedua lembaga penelitian tersebut telah membuat banyak penelitian dan publikasi terhadap warisan masa lalu di benua Asia -termasuk Aceh- dan terhadap berbagai isu-isu kontemporer yang sedang hangat dibicarakan di Asia.
Oleh karena itu, keberadaan lembaga kajian yang akan dibentuk ini sangat signifikan dalam mempromosikan Aceh ke dunia international dengan segala potensi yang dimiliki oleh Aceh masa dulu, sekarang dan akan datang. Dan yang paling terpenting adalah, lembaga ini akan menampung para peneliti muda yang menjadi sumber daya manusia yang handal. Karena apapun cerita, penelitian atau riset lah yang telah membuat negara-negara eropa maju seperti sekarang ini.

Penutup
Tulisan yang sangat ringkas ini ingin mengajak kita untuk berfikir bahwa Aceh tanah yang bertuah adalah pusat dan sumber kekayaan ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah pernah diukir oleh sejarah dulu dengan tinta emasnya. Untuk itu, sepatutnya kita merasa malu dengan orang asing yang telah jauh berperan dalam menggali khazanah warisan Aceh masa lampau dengan berbagai penelitian yang mereka lakukan. Selama ini yang terjadi adalah banyak ilmuan dan sarjana asing yang membuat kajian tentang Aceh dan pada waktu yang sama hanya sedikit saja putera Aceh yang menaruh perhatian terhadap kekayaan yang dimiliki oleh Aceh.
Makanya, selaku generasi baru, sekarang lah saatnya kita harus mengembangkan warisan endatu kita dulu dengan cara menghidupkan kembali Aceh sebagai pusat ilmu pengetahuan yang menjadi rujukan bagi dunia international. Hal ini dapat diwujudkan melalui sebuah lembaga riset yang mempunyai standar international, sehingga Aceh akan berada dibawah kajian orang Aceh sendiri. Jadi, dengan adanya lembaga riset ini banyak generasi Aceh yang akan mengalihkan perhatian mereka pada khazanah Aceh dengan berbagai dimensi yang ada. Semoga saja semangat untuk mendirikan lembaga riset oleh BRR bukan hanya sekedar “su-um su-um ek manok”. Dan semoga saja generasi Aceh tidak hanya mampu bermimpi dan bernostalgia dengan prestasi-prestasi masa lalu. Kalau bukan sekarang, kapan lagi !
[1] Penulis adalah mahasiswa Master of Human Science with specialization in Arabic Literature Studies, International Islamic University Malysia (IIUM) Kuala Lumpur, sementara ini berdomisili di Kuala Lumpur. Email : zul_aceh@yahoo.com

Kebersihan Dalam Agama Islam

Kebersihan dalam Agama Islam
(Oleh : Zulhelmi, MA[1])

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang ajaran-ajarannya sangat sempurna dan sesuai dengan kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman. Salah satu ajaran Islam yang sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia di bumi ini adalah kebersihan. Agama Islam sangat menekankan ummatnya agar menjaga kebersihan. Salah satu dalil tentang kebersihan adalah sebuah hadist nabi Muhammad SAW yang artinya: “kebersihan itu sebagian dari Iman”. Hadist ini sangat popular di kalangan ummat Islam, baik dari kalangan Ulama sampai kalangan orang awam sekalipun. Disamping itu ada juga ayat-ayat Alquran yang memerintahkan ummat Islam agar menjaga kebersihan, antara lain Allah berfirman yang bermaksud: Sesungguhnya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bersih (suci) dan yang bertaubat. Kemudian lagi firman-Nya yang berarti : dan bersihkanlah (sucikanlah) pakaianmu. Tidak diragukan lagi yang bahwa ajaran Islam sangat menekankan masalah kebersihan.
Namun sangat disayangkan, kebanyakan ummat Islam menyepelekan persoalan ini dan menganggap bahwa kebersihan bukan dari bagian syariat Islam. Padahal dari segi dalil naqli, perintah untuk menjaga kebersihan sudah sangat jelas, akan tetapi pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari masih sangat jauh dari tuntutan ini. Buktinya, kalau kita pernah berjalan-jalan di beberapa negara Islam di dunia timur dan beberapa negara non Islam di dunia barat, maka kita bisa mendapatkan sebuah perbedaan yang sangat luar biasa. Ternyata tidak bisa dipungkiri bahwa, masalah kebersihan kurang mendapatkan perhatian di kalangan orang Islam sendiri, akan tetapi ia mendapatkan perhatian penuh dari kalangan non Islam. Ini sungguh aneh bin ajaib!!! Kalau kita berjalan di negara-negara Islam, maka kita akan mendapatkan lingkungan yang kotor, sampah berserakan dimana-mana, fasilitas WC umum juga dipenuhi oleh aroma yang tidak sedap, sehingga membuat orang yang menggunakan fasilitas ini merasa tidak nyaman dan lain sebagainya. Sementara ketika kita berjalan jalan di negara-negara non Islam, kita akan mendapatkan situasi yang berbeda dengan yang di atas. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran-ajaran syariat Islam telah dilaksanakan oleh ummat non muslim di negara yang non Islam.
Begitu juga halnya masalah kebersihan di Aceh, negeri syariat Islam. Diakui atau tidak, bahwa kesadaran ummat Islam di Aceh akan pentingnya pola hidup yang bersih masih sangat minim. Tidak usah jauh-jauh untuk mengambil contoh, dalam lingkungan dayah atau pesantren pun, ajaran syariat Islam yang satu ini belum mendapatkan perhatian yang maksimal. Padahal kita semua tau bahwa dayah ataupun pesantren adalah pusat kajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam, tentu sudah seharusnya warga pesantren menerapkan kebersihan secara maksimal supaya menjadi contoh teladan untuk khalayak ramai dalam proses pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Dan contoh lain adalah Rumah Sakit yang sudah dikenal sebagai tempat utama untuk menjadi contoh yang baik tentang lingkungan yang bersih. Akan tetapi, sebagaimana pengalaman saya ketika berada di salah satu Rumah Sakit di Banda Aceh, nuansa kebersihan masih sangat kurang. Saya melihat air di selokan meluap dan tergenang berbulan-bulan sehingga menjadi lahan subur untuk pengembangbiakan nyamuk. Penggunaan tong sampah yang belum maksimal, membuat sampah bertumpuk di satu tempat. Belum lagi fasilitas WC umum yang tidak terurus secara baik dan menyebabkan para pengguna “jasa”nya merasa tidak nyaman. Itulah gambaran kecil dari sejauh mana ummat Islam di negeri syariat ini melaksanakan salah satu ajaran Islam, yaitu kebersihan.
Sebenarnya, ajaran Islam tidak ada yang luput untuk kemaslahatan manusia. Tinggal saja bagaimana sikap ummatnya dalam melaksanakan ajaran tersebut di dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, saya ingin sekali menggugah hati nurani kita semua, agar sikap cuek atau acuh tak acuh kita terhadap pentingnya kebersihan harus dibuang jauh-jauh. Kita mesti menjaga kebersihan, baik kebersihan diri kita sendiri maupun kebersihan lingkungan. Karena kebersihan adalah sebagian dari iman sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. Jadi barang siapa yang dalam kehidupannya sehai-sehari belum mampu hidup dengan pola bersih, maka iman dia belum sempurna. Wallahu’alam bisshawab.

[1] . Penulis adalah alumni dayah Ulumuddin, Uteunkot, Cunda, Lhokseumawe dan Alumni International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur. Email : zul_aceh@yahoo.com

Ketika Kekuatan Politik Merebak ke Dunia Pendidikan

KETIKA KEKUATAN POLITIK MEREBAK KE DUNIA PENDIDIKAN
(Oleh : Zulhelmi, SS, MA[1])
Muqaddimah
Baru-baru ini ada beberapa kejadian yang sangat memprihatinkan dalam dunia pendidikan kita. Diantaranya para guru yang ada di kabupaten Bireuen melakukan demontrasi besar-besaran di depan kantor DPRDK Bireuen sehingga menyebabkan sebagian aktifitas belajar mengajar pada hari itu lumpuh. Sebagian tuntutan mereka adalah agar pejabat Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) Bireuen yang sekarang dapat ditinjau ulang oleh pihak yang berwenang (Serambi Indonesia/Selasa, 21 Oktober 2008). Kemudian lagi demontrasi yang dilakukan oleh para siswa SMK di Idi yang menuntut kepala sekolah agar mengembalikan guru mereka yang telah dimutasikan ke sekolah lain (Serambi Indonesia/ Selasa, 25 November 2008).
Setidaknya, dua contoh tersebut di atas cukup mewakili gambaran yang sesungguhnya bagaimana kondisi dunia pendidikan di Aceh sekarang ini. Belum lagi berbagai persoalan lain yang menyayat hati kita yang kebetulan tidak sempat direkam oleh media massa. Untuk menyikapi dua kejadian tersebut ada beberapa pertanyaan yang patut kita tanyakan sebagai bahan renungan bagi kita semua. Mengapa para guru atau siswa melakukan demontrasi? Mengapa proses belajar mengajar harus terganggu dengan aksi-aksi demontrasi?
Kekuatan Politik
Menurut salah seorang nara sumber yang dapat dipercaya, bahwa salah satu faktor demontrasi para guru yang terjadi di Bireuen beberapa waktu yang lalu, adalah karena mereka sudah jenuh dan tidak sabar lagi dengan tindakan oknum pejabat tinggi negara (kepala dinas pendidikan dan kebudayaan) yang telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk memutasi kepala sekolah. Sehingga terbangun image public bahwa posisi kepala sekolah bisa ditawar menawar dengan pihak oknum tersebut tanpa melewati proses jenjang atau prosuderal yang telah berlaku dan akhirnya maruah dunia pendidikan pun ternodai karenanya . Begitu juga halnya, - semoga asumsi ini salah - posisi kepala sekolah bisa dijadikan kekuatan untuk memutasi guru sesuai dengan selera sang oknum tanpa memerhatikan pengaruhnya terhadap peningkatan prestasi para siswa.
Gejala ini menurut hemat saya mengindikasikan bahwa ternyata kekuatan politik sudah merebak ke dunia pendidikan! Hal ini nampak pada begitu gampangnya oknum yang punya kekuasaan untuk melakukan mutasi kepala sekolah di sana sini tanpa melewati proses yang telah ditetapkan. Begitu juga posisi kepala sekolah bisa digunakan sebagai kekuatan untuk memutasi guru yang tidak searah dengan jalan pikirannya. Dari sini jelas bahwa posisi kepala dinas ataupun kepala sekolah mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka yang dianggap berbahaya terhadap keutuhan posisinya masing-masing.
Tentunya bagi mereka yang memiliki hati nurani semuanya sepakat bahwa kasus-kasus sebagaimana yang telah dibicarakan tadi di atas tidak perlu terjadi dan sepatutnya dunia pendidikan harus bebas dari pengaruh kekuatan politik. Dan sebenarnya jabatan kepala sekolah merupakan jabatan akademis bukan jabatan politis sehingga maruah dunia pendidikan pun terjaga secara baik dan terhormat. Apa kata dunia kalau jabatan kepala sekolah bisa menjadi ajang rebutan bagi mereka yang haus kekuasaan? Bagaimana nantinya hubungan dan pergaulan sehari-hari kepala sekolah hasil perolehan dari lobi-lobi politik dengan dewan guru dan murid? Kalau perkara ini terus berlangsung maka lingkaran setan pun tak bisa dihindari lagi. Kepala dinas dengan gampangnya memutasi kepala sekolah. Kepala sekolah juga tidak sunkan-sunkan memutasi guru. Gurupun tidak mempunyai beban untuk memecat anak murid dan anak muridpun akhirnya menjadi korban akhirnya mereka pun akan melakukan unjuk rasa alias demontrasi untuk menuntut hak-hak mereka yang telah dizhalimi. Sehingga setiap saat kita akan melihat dan membaca di media massa aksi unjuk rasa di sana sini.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa dunia pendidikan kita harus bisa netral tanpa ada kekuatan lain yang akan menodai kehormatannya. Sekolah adalah dunia pendidikan yang harus dimaksimalkan fungsinya sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan bagi generasi anak bangsa dan bukan sebagai objek politik dari sebuah kekuasaan. Posisi kepala sekolah harus mempunyai maruah dan wibawa yang tinggi dihadapan khayalak ramai dan jangan menjadi bahan cemoohan publik gara-gara dinilai tidak sesuai dan profesional. Intinya dalam dunia pendidikan kita mesti mengedepankan profesionalitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai akademik sebagai tujuan utama dari sebuah lembaga pendidikan formal.
Mutu Pendidikan Kita
Diakui atau tidak bahwa mutu pendidikan di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mendapat rangking terakhir dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Hal ini tentu sangat naif karena pada sisi lain begitu banyaknya perhatian serta bantuan yang mengalir ke Aceh baik dari dalam maupun luar negeri untuk memperbaiki mutu pendidikan di Aceh. Sementara daerah lain tidak memiliki peluang emas ini. Akan tetapi pada kenyataannya kualitas pendidikan di Aceh masih berada pada tahap yang tidak menggembirakan.
Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita, diantaranya efek samping dari konflik yang berkepanjangan, minimnya perhatian orang tua terhadap masa depan pendidikan anaknya dengan alasan krisis ekonomi, ketidakseriusan pihak yang berwenang untuk meningkatkan mutu pendidikan, ketidakmampuan kita untuk memilah antara kepentingan politik dengan kepentingan dunia pendidikan itu sendiri dan lain sebagainya.
Dan sangat disedihkan sekali ketika kita membaca berita bahwa masih ada di sekolah kita baik di tingkat SMA maupun di tingkat SMP yang menggunakan jasa para siswa sebagai piket di rumah sekolahnya masing-masing, dengan alasan tidak tersedianya alokasi dana untuk menggaji satpam ataupun petugas khusus (Serambi Indonesia, 1 Desember 2008). Contoh kasus ini adalah secuil gambaran dari betapa hancurnya mutu pendidikan kita. Mengapa sich kita tega merampas hak anak-anak untuk mengenyam pendidikan mereka secara utuh dan sempurna?
Semua orang tau bahwa pendidikan adalah kunci utama bagi sebuah bangsa untuk maju. Tanpa dimodali dengan pendidikan jangan pernah bermimpi anda bisa mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan disegani di dunia internasional. Oleh karena itu pendidikan adalah fixe price (harga mati) bagi memajukan sesebuah bangsa.
Penutup
Alhamdulillah Pemerintah Daerah Aceh di bawah pimpinan Bapak Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar sangat memperhatikan aspek pendidikan dalam membangun Aceh di masa yang akan datang. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya anggaran yang diplotkan untuk bidang pendidikan serta banyak terdapat program beasiswa untuk menyekolah para guru demi lahirnya para guru yang memiliki sumber daya manusia untuk mencerdaskan anak bangsa. Dan juga bapak WAGUB sendiri, Muhammad Nazar, senantiasa berbicara masalah pentingnya pendidikan untuk membangun Aceh di berbagai waktu dan kesempatan. Semoga saja pendidikan di daerah Aceh yang tercinta ini akan dapat mengulang kembali sejarah kejayaan nenek moyang kita ratusan tahun yang lalu. Amin ya rabbal ‘alamin !!!
[1] Penulis adalah alumni International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia. Saat ini berdomisili di Meunasah Tutong, Montasik, Aceh Besar.

Permasalahan Rokok : Sebuah Perbandingan antara Indonesia dan Malaysia

Permasalahan Rokok
Sebuah Perbandingan Antara Indonesia dan Malaysia
(Oleh: Zulhelmi, SS, MA[1])

Muqaddimah
Tulisan ini ingin membandingkan antara dua buah negara, Indonesia dan Malaysia, dalam mengatasi permasalahan rokok. Menurut hemat saya, Malaysia sangat sesuai untuk kita jadikan sebagai objek perbandingan untuk permasalahan rokok, karena antara dua buah negara ini terdapat hubungan yang sangat special laksana adik dan abang. Harus diakui bahwa Malaysia telah berhasil mengatasi permasalahan rokok, sementara di Indonesia rokok telah menyebabkan banyak dilema dalam kehidupan dan sampai saat ini belum terselesaikan secara tuntas. Bahkan Taufik Ismail, seorang sastrawan agung, dalam sebuah puisi panjangnya yang berjudul “Tuhan 9 CM” mengatakan bahwa Indonesia adalah syurga jannatun naim bagi pecandu rokok dan neraka bagi non pecandu rokok. Hal ini secara jelas menggambarkan bahwa pecandu rokok di Indonesia sudah sangat merajalela dan boleh dikatakan telah melanggar hak asasi manusia.
Memang di beberapa kota besar di Indonesia telah ada peraturan tentang kawasan bebas rokok. Tapi permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah peraturan itu sudah berjalan secara maksimal? Sejauh manakah keseriusan pemerintah dalam menertibkan para pecandu rokok sehingga mereka tidak mengganggu hak asasi manusia yang lain?
Secara khusus, saudara Jarjani Usman pernah menulis sebuah opini yang berjudul “Qanun Rokok Sangat Mendesak” (Serambi Indonesia/28-3-2008). Saudara Jarjani Usman berpendapat bahwa sudah saatnya sekarang kita mempunyai sebuah undang-undang yang mengatur mereka yang candu rokok demi kenyaman dan ketentraman hidup kita bersama. Menurut saya, ide ini sudah sangat tepat sekali, akan tetapi undang-undang saja tidak cukup. Karena undang-undang itu hanya sebatas goresan tinta di atas kertas. Maka diperlukan beberapa langkah selanjutnya untuk mengatasi permasalahan rokok di negeri ini.
Kebijakan Pemerintah Malaysia Terhadap Rokok
Dalam tulisan ini, saya ingin membandingkan kebijakan pemerintah Malaysia dalam mengatasi masalah rokok. Ada beberapa peraturan yang mereka terapkan, pertama: Setiap tahunnya pajak rokok dinaikkan sehingga harga rokok pun di Malaysia setiap tahun bertambah mahal. Kebijakan ini sangat efektif, karena akan terasa secara langsung oleh si pecandu rokok tatkala mengeluarkan uang dari sakunya dalam jumlah yang besar hanya untuk sebungkus rokok, yang kemudian juga akan dibakar oleh dia sendiri. Secara tidak langsung, ini akan memberikan efek jera kepada si perokok karena dia secara tidak langsung akan berfikir bahwa merokok adalah sama dengan membakar uang.
Kedua, tidak boleh mengiklankan rokok di mana saja, kapan saja dan siapa pun dia. Oleh karena itu ketika kita berjalan-jalan keliling negara Malaysia, maka kita tidak pernah mendapatkan iklan rokok di pinggir-pinggir jalan. Justru sebaliknya, kita akan mendapatkan iklan yang memberi pesan bahwa rokok itu racun yang dapat mematikan manusia. Sementara kalau kita bandingkan di Indonesia, iklan rokok terdapat dimana-mana, di media massa, media elektronik, baliho, spanduk dan lain sebagainya. Yang sangat ironisnya lagi, pesan yang disampaikan dalam iklan rokok itu adalah pesan-pesan kesucian jiwa, ketaqwaan dan kekuatan luar biasa yang diperoleh setelah merokok dan lain-lain. Sungguh hal yang sangat bertolak belakang dengan realitas yang terjadi.
Ketiga, membatasi ruang lingkup perokok. Bagi seorang pecandu rokok jangan pernah bermimpi akan bebas merokok di mana saja karena ruang lingkupnya sangat terbatas. Misalnya, dilarang merokok di lingkungan Rumah Sakit, di lingkungan kampus, di dalam transportasi umum, tempat-tempat umum, kantor, auditorium dan tempat-tempat formal lainnya. Akan tetapi, bagi mereka yang ingin merokok telah disediakan secara khusus tempat untuk merokok. Artinya, ruang lingkup mereka dibatasi dan tidak boleh merokok secara bebas.
Keempat, membuat sebuah peraturan bahwa para penjual rokok tidak boleh menjual rokok kepada anak-anak berumur di bawah 18 tahun walau dengan alasan apapun. Dan di setiap toko atau warung atau kios yang menjual rokok, mesti menempelkan spanduk kecil yang bertuliskan peraturan tersebut. Ini adalah apa yang dinamakan sebagai upaya preventif terhadap anak-anak usia dini untuk mengenal rokok. Sebuah berita yang sangat mengejutkan di saat harian Serambi Indonesia (11-12-2008) menuliskan bahwa ternyata ribuan anak bangsa kita (provinsi Aceh) sudah kecanduan rokok. Ternyata anak-anak generasi negeri ini sudah demikian parah tanpa ada pihak yang bertanggungjawab. Sejak usia dini telah kecanduan rokok, bagaimana kisah selanjut waktu mereka menjadi pemuda?
Kelima, memberlakukan denda bagi siapa saja yang telah melanggar peraturan tentang merokok baik sengaja ataupun tidak. Dendanya pun tidak tanggung-tanggung, kalau kita ukur dengan uang rupiah berjumlah kira-kira Rp. 1.500.000.
Keenam, membatasi peluang kerja bagi pecandu rokok. Artinya, ketika sebuah lembaga ingin melakukan rekruitmen para staff atau pegawai, maka akan diberikan keutamaan dan prioritas bagi mereka yang tidak merokok. Sehingga tertera dalam sebuah iklan rekruitmen sebuah point yang menyebutkan: “bagi pecandu rokok tidak digalakkan ( disarankan ) untuk melamar posisi atau jabatan ini”. Demikianlah beberapa kebijakan yang telah diterapkan oleh kerajaan Malaysia dalam mengatasi persoalan rokok.
Kondisi Indonesia
Beda halnya dengan di Indonesia. Di Indonesia, perusahaan rokok menjadi salah satu sumber devisa negara yang sangat besar, yang kalau ditutup –katakanlah demikian- akan membuat negara rugi. Perusahaan rokok juga menampung ribuan para pekerja, yang kalau mereka di PHK semuanya akan berakibat terjadinya gelombang pengangguran besar. Perusahaan rokok juga menjadi sponsor utama untuk event-event besar yang diadakan oleh masyarakat dan juga sponsor beasiswa dalam rangka mencerdaskan generasi bangsa ini juga.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka sulit rasanya untuk mengatasi permasalahan rokok di Indonesia, karena siatuasinya tidak sama dengan di Malaysia. Rokok menjadi dilema bagi bangsa Indonesia. Di satu segi, rokok menjadi mudharat tapi dari segi lain rokok membawa keuntungan. Ibarat buah si malakama, kalau dimakan mati ibu, kalau dibuang mati bapak. Namun demikian, bukan berarti kita tidak bisa menerapkan kebijakan-kebijakan seperti Malaysia. Hal tersebut bisa kita lakukan, asalkan ada keseriusan pemerintah dalam permasalahan ini.
Adapun seperti contoh-contoh di atas yang menggambarkan sejauh mana ketergantungan negara Indonesia pada perusahaan rokok, maka bisa dicari solusinya. Seperti mengurangi produksi rokok atau membatasi produksi rokok atau mengurangi peran perusahaan rokok dalam dunia perekonomian, dengan syarat harus ada pabrik atau perusahaan lain yang akan menggantikan posisinya. Perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan yang memproduksi produk-produk yang bermanfaat secara langsung bagi kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan primer, maupun kebutuhan sekunder. Jadi perusahaan tersebut harus mampu bersaing dan diberikan kesempatan untuk bisa memperluas perannya, sehingga lambat laun, perusahaan rokokpun bisa diciutkan. Tentunya ini sebuah tantangan yang sangat besar bagi pemerintah, karena akan berhadapan dengan tolak tarik kepentingan sekelompok orang. Makanya diperlukan keseriusan dan tekad bulat untuk mengalihkan ketergantungan negara terhadap perusahaan rokok.
Disamping itu juga ada sebuah logika yang sesuai untuk bahan pertimbangan pemerintah. Yaitu, ada kemungkinan besar –diperlukan sebuah penelitian lebih lanjut – bahwa biaya untuk bidang kesehatan yang dianggarkan oleh pemerintah setiap tahunnya, lebih besar dari pajak yang diterima dari perusahaan rokok itu sendiri. Seandainya masyarakat Indonesia bisa mengurangi konsumsi rokok, maka pemerintah tidak perlu mengganggarkan banyak dana untuk bidang kesehatan dan dana ini bisa dialihkan ke bidang lain seperti bidang pendidikan. Logikanya, semakin banyak orang merokok, semakin banyak pula orang sakit. Karena rokok adalah sumber penyakit. Semakin banyak orang sakit, semakin banyak pula beban pemerintah untuk meng-subsidi bidang kesehatan. Wal hasil, lebih banyak pengeluaran dari pada pemasukan.
Penutup
Akhirnya, dipenghujung tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa Indonesia sudah sepatutnya mengikuti sedikit demi sedikit kebijakan Pemerintah Malaysia dalam mengatasi permasalahan rokok. Sehingga julukan Indonesia sebagai surga bagi pecandu rokok bisa dihapuskan. Kita tidak bangga kalau Indonesia diberi julukan surga bagi pecandu rokok, karena ini bukan sebuah pretasi akan tetapi sebuah aib dan kecacatan sosial. Oleh karena itu, dengan tidak mempunyai niat lain, bahwa aksi demontrasi yang dilakukan oleh adik-adik mahasiswa dari KAMMI yang menuntut agar Pemerintah (khususnya PEMDA Aceh) agar segera menetapkan wilayah bebas asap rokok (Serambi Indonesia/6-12-2008), patut didukung sepenuhnya sebagai upaya untuk mengatasi persoalan rokok di negeri ini. Sudah siapkan kita semua? Kita lihat saja reaksi selanjutnya.


[1] Penulis adalah alumni program S2 di International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia. Saat ini berdomisili di Kuala Lumpur, Malaysia. Email: zul_aceh@yahoo.com

Sejauh Manakah Perhatian Kita Terhadap Pendidikan

Sejauh Manakah Perhatian Kita Terhadap Pendidikan?
Oleh : Zulhelmi. SS, MA[1]

Dulu, ketika Jepang hancur berkeping-keping dibom oleh tentara sekutu, maka pertanyaan yang pertama muncul dari mereka yang terselamatkan dari bencana besar tersebut adalah berapa orang guru, dosen dan professor kita yang masih hidup? Langkah pertama yang diambil oleh orang Jepang setelah mengalami kehancuran tersebut adalah membangun kembali sektor pendidikan. Mereka sangat yakin bahwa hanya dengan pendidikanlah sebuah bangsa akan maju dan berkembang. Oleh karena itu, seluruh generasi yang tinggal ketika itu dikirim keluar negara untuk menuntut ilmu dan mereka mulai membangun negaranya ketika pulang. Wal hasil, sekarang Jepang telah berubah dari negara yang dulunya hancur berkeping-keping menjadi negara yang sangat maju yang disegani oleh dunia.
Indonesia, walaupun 10 tahun lebih duluan merdeka daripada adeknya Malaysia, namun sekarang Malaysia jauh lebih maju bila dibandingkan dengan kakaknya Indonesia. Ternyata salah satu faktor yang membuat mereka lebih maju dari pada kita adalah pemerintahnya lebih mementingkan sektor pendidikan dalam membangun negara. Salah satu program mereka dalam membangun sektor pendidikan adalah pengiriman 1000 orang mahasiswa dalam setahun untuk menuntut ilmu di negara luar. Bayangkan berapa anggaran dana negara yang dikuras untuk misi ini, belum lagi ditambah dengan fokus pemerintah terhadap peningkatan mutu pendidikan dalam negerinya sendiri. Malaysia sangat optimis bahwa hanya generasi yang memiliki pendidikan tinggi adalah modal yang sangat besar dalam membangun negara.
Tan Sri Sanusi Junid – salah seorang anak Aceh yang telah menjadi tokoh besar di Malaysia – pernah menceritakan pengalamannya puluhan tahun yang lalu ketika berkunjung ke negara Quba. Di sebuah hotel berbintang lima ketika beliau sedang berbincang-bincang dengan presiden Quba yang didampingi oleh para menterinya, tiba-tiba muncul seekor tikus besar di tengah-tengah mereka. Otomatis kehadiran tikus ini mengejutkan para tamu dari Malaysia dan tidak bagi presiden Quba dan para menterinya. Kemudian mereka bertanya, kenapa bisa ada tikus di sebuah hotel berbintang lima dan kenapa tidak ada usaha untuk membasminya? Dengan santai sang presiden menjawab, daripada susah-susah memikirkan tikus dan membuang-buang uang negara, lebih baik kami gunakan uang tersebut untuk membangun sektor pendidikan. Ternyata perhatian pemerintah Quba terhadap pendidikan sangat besar dan terbukti bahwa anggaran pembelanjaan negara lebih difokuskan pada pendidikan dengan mengeyampingkan segala keperluan yang tidak begitu signifikan. Dan hasilnya, hari ini Quba adalah negara terbesar kelima di dunia yang menguasai tehnologi.
Setelah melihat pengalaman dari tiga buah negara yang memberikan perhatian penuh pada sektor pendidikan, pada tulisan ini saya ingin membandingkan sejauh mana perhatian kita, khususnya pemerintah daerah - walaupun tidak layak untuk membuat perbandingan antara sebuah negara dengan sebuah provinsi, namun pengalaman mereka sangat berharga dan patut diikuti - terhadap pendidikan. Untuk menjawab persoalan ini, saya ingin lebih dahulu berasumsi bahwa pemerintah daerah kita belum memberikan perhatian penuh dalam sektor pendidikan.
Asumsi saya tersebut setidaknya didukung oleh beberapa fakta penting sejak Aceh dipimpin oleh gubernur Abdullah Puteh sampai dengan sekarang yang dipimpin oleh gubernur Irwandi Yusuf. Masih terbayang dipikiran kita, ketika Abdullah Puteh menjabat sebagai gubernur, beliau pernah mengalihkan anggaran dana pendidikan yang cukup lumanyan besar untuk membuat PKA ke empat. Terlepas dari alasan yang dibuat-buat bahwa PKA itu bagian dari pendidikan, namun yang penting anggaran dana yang sudah jelas-jelas untuk pendidikan tapi dialihkan untuk keperluan yang lain. Hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang pernah dilakukan oleh presiden Quba.
Dengan tidak bermaksud mengungkit kembali persoalan yang telah diklarifikasi oleh pihak yang berwenang, baru-baru ini kita digemparkan kembali dengan berita bahwa anggaran dana pendidikan sebanyak Rp. 1,2 Milyar akan digunakan untuk bersiar ke luar negeri (Serambi Indonesia/14-4-2008) yang keesokan harinya langsung diklarifikasi kembali oleh kepala dinas Pendidikan NAD Mohd Ilyas MM, bahwa perencanaan tersebut telah dibatalkan (Serambi Indonesia/15-42008). Ini adalah berita yang paling menghebohkan public untuk sementara waktu. Walaupun rencana ini telah dibatalkan, namun rakyat sudah dapat menilai sejauh mana para elite kita serius untuk membangun sektor pendidikan. Belum lagi berbagai bentuk penyelewengan lain yang terjadi sebelumnya terhadap dunia pendidikan, seperti penyelewengan dana peningkatan mutu guru, pemotongan beasiswa oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai alasan, penyunatan gaji guru kontrak atau honor dan lain-lain yang telah menghambat proses pendidikan di Aceh.
Walaupun gubernur Irwandi Yusuf beserta wakilnya Muhammad Nazar pernah berjanji di awal masa kampanyenya bahwa mereka akan lebih memperhatikan sektor pendidikan, bahkan sang Wagub sendiri sering mengalukan-alukan betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan Aceh di masa depan, namun sejauh ini belum ada fakta yang kuat membuktikan bahwa mereka telah memenuhi janjinya.
Dari sederetan peristiwa yang terjadi jelas bahwa secara umum, keseriusan PEMDA kita belum menunjukkan keyakinannya bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk membangun Aceh yang maju. Padahal setelah ditimpa musibah besar sunami, Aceh memiliki anggaran dana yang sungguh luar biasa banyak, baik yang bersumber dari donasi negara-negara luar maupun dari APBD sendiri. Diakui atau tidak namun jelas bahwa PEMDA kita belum berani memplotkan anggaran pembelanjaan daerahnya pada pendidikan sebagaimana yang telah dilakukan oleh tiga contoh negara tadi.
Tidak usah jauh-jauh kita menilai, ketika musibah sunami datang yang merupakan bencana alam terbesar disepanjang sejarah manusia - bahkan lebih dahsyat dari pada bencana bom atom di Jepang – adakah kita teringat berapa orang professor, dosen, guru yang masih hidup? Adakah kita mempertanyakan berapa rumah sekolah dan universitas yang terselamatkan? Tentu jawabnnya tidak. Dan ini cukup menjadi barometer dalam diri pribadi kita masing-masing sejauh mana perhatian kita terhadap pendidikan.
Tulisan saya yang sangat singkat ini ingin menggugah perhatian kita terhadap dunia pendidikan di Aceh. Sebuah perhatian yang membutuhkan kerja nyata di lapangan bukan hanya sekedar berteori atau beretorika semata. Kita semua rakyat Aceh – pihak PEMDA, DPRD dan seluruh lapisan masyarakat – mesti menyadari bahwa hanya dengan pendidikanlah Aceh akan jaya dan maju di masa yang akan datang. Semoga di era kepempinan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, pendidikan di Aceh akan mendapatkan perhatian yang lebih serius lagi yang dibuktikan dengan tidak adanya lagi generasi Aceh yang putus sekolah dan mereka akan berhak menerima pendidikan tinggi, sehingga nanti pada suatu saat Aceh akan memilki banyak ilmuan, professor dan para doktor yang akan membangun Aceh dengan kapasitas keilmuannya masing-masing sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara maju lainnya. Amin ya rabbal alamin…
[1] . Penulis adalah alumni pasca sarjana International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur. Email : zul_aceh@yahoo.com

Solusi Menghadapi Banjir

SOLUSI MENGHADAPI BENCANA BANJIR
(Oleh: Zulhelmi, SS. MA[1])

Muqaddimah
Diperkirakan sampai bulan Januari, hujan akan terus menguyur negeri ini. Pihak pemerintah pun telah mengeluarkan peringatan kepada setiap warga agar senantiasa dalam keadaan siap siaga dan berwaspada akan berbagai kemungkinan yang terjadi. Khusus di Aceh, beberapa kabupaten telah mengalami musibah banjir, sehingga telah banyak mengalami kerugian baik fisik mapun non fisik, bahkan menurut berita di media massa telah ada korban jiwa yang berjatuhan.
Berbicara masalah musibah banjir bukanlah perkara yang asing lagi bagi penghuni negeri ini. Hal ini wajar karena negeri kita yang tercinta ini sangat rawan dengan berbagai bencana alam, seperti banjir, gempa, tanah longsor, gunung meletus dan lain sebagainya. Khusus untuk musibah banjir, seperti nya para pemerintah sudah kewalahan menanganinya. Buktinya berapa kali sudah pucuk pimpinan negara ini bergonta ganti baik di tingkat pusat maupun daerah, namun belum ada yang berhasil menciptakan sebuah konsep secara sempurna dan berkesinambungan untuk mengatasi banjir. Namun demikian, kita tidak bisa seratus persen menyalahkan pemerintah, karena untuk keluar dari musibah ini diperlukan partisipasi masyarakat.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan beberapa tawaran konsep sebagai solusi kongkrit agar kita bisa mengatasi musibah banjir yang selalu datang di setiap tahun. Terlepas dari sebuah keyakinan kita bahwa banjir merupakan bencana alam yang sudah ditetapkan oleh sang Pencipta alam itu sendiri karena memang hujan diturunkan oleh Allah SWT, namun perkara ini tidak terlepas dari ulah tangan manusia juga. Dengan kata lain, bahwa manusia yang telah diciptakan oleh Allah SWT untuk mengengelola alam (khalifah fil ardhi) ini ternyata telah mengkhianati amanah mulia tersebut dengan cara membuat kerusakan di alam. Manusia telah mengeksploitasi alam beserta isinya secara membabi buta serta telah berperilaku tidak ramah dengan lingkungannya. Allah SWT telah berfirman dalam al-Quran yang artinya: Telah terjadi kerusakan di daratan dan lautan akibat ulah tangan manusia sehingga mereka merasakan akibatnya semoga mereka kembali ke jalan yang benar. (ar-Rum:41). Oleh karena itu, wajar saja alam akan murka diperlakukan sedemikian rupa sehingga bencana alam pun tidak dapat dielakkan lagi. Apabila kita ramah serta bersahabat dengan alam, maka alampun akan menjadi sahabat baik kita dan justru sebaliknya apabila kita tidak ramah dan bersahabat dengan alam maka alam pun akan murka pada kita.
Solusi Kongkrit
Setidaknya ada beberapa solusi kongkrit untuk meminimalisir – untuk tidak mengatakan menghilangkan - bencana banjir di negeri ini. Yang pertama adalah, membuang sampah pada tempatnya. Sudah menjadi kebiasaan buruk kita, siapa pun dia, apapun jabatannya, untuk membuang sampah bukan pada tempatnya. Kesadaran masyarakat kita terhadap pengelolaan sampah yang baik masih sangat minim sekali. Buktinya sebagaimana yang diberitakan oleh harian Serambi Indonesia bahwa salah satu penyebab terjadinya banjir di wilayah kabupaten Bireuen adalah karena tersumbatnya saluran air dengan sampah yang dibuang oleh masyarakat (Serambi Indonesia/2 Desember 2008). Resiko membuang sampah bukan pada tempatnya, seperti ke dalam sungai ataupun saluran air sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Karena sampah kalau tidak dikelola dengan baik maka akan menjadi malapetaka besar dalam kehidupan kita.Sepintas lalu sampah menjadi hal yang sangat sepele di mata kita. Akan tetapi pada hakikatnya sampah adalah permasalahan besar yang sampai hari ini belum terurus dengan baik. Bukan saja banjir yang akan terjadi akibat membuang sampah sembarangan karena ia akan menyumbat aliran air yang mengalir, akan tetapi juga akan membuat pencemaran lingkungan dan juga hilangnya sanitasi lingkungan sehingga akan lahir dikemudian hari nantinya generasi-generasi yang tidak sehat dan berpenyakitan.
Oleh sebab itu, kesadaran masyarakat terhadap bahaya membuah sampah sembarangan perlu ditumbuhkan sejak usia dini. Biasakanlah anak kita sejak kecil untuk membuang sampah pada tempatnya. Kalau perlu kita usulkan kepada pihak legislative supaya Aceh mempunyai qanun sampah dan kita berlakukan denda atau sanksi bagi barang siapa saja yang membuang sampah sembarangan sebagaimana yang telah berlaku di negara-negara maju di dunia.
Kedua, membuat saluran air yang baik dan bersifat permanen. Selama ini saluran air yang ada sangat tidak mencukupi dan dibuat bersifat asal-asalan, sehingga ketika hujan turun fungsinya pun tidak maksimal. Hal ini bisa kita lihat di Banda Aceh sendiri sebagai ibu kota Aceh. Ketika hujan turun, maka kita akan melihat pemandangan air yang tergenang di badan jalan yang ketinggiannya bisa mencapai lutut.
Membangun saluran air yang sempurna dan bersifat permanen sangat penting bagi menghindari resiko banjir. Karena air yang turun dari langit tersebut sebenarnya perlu kita manage sedemikian rupa sehingga keberadaannya tidak menimbulkan masalah bagi manusia. Sebenarnya air hujan yang diturunkan oleh Allah SWT adalah menjadi rahmat bagi makhluk hidup di dunia ini, akan tetapi jikalau air rahmat tersebut tidak bisa diatur secara professional maka ia akan menjadi bencana dan malapetaka. Semoga kita tidak tergolong ke dalam golongan orang yang menggubah rahmat menjadi malapetaka. Dan salah satu cara mengelola air hujan adalah dengan membangun saluran air yang baik dan bisa tahan lama. Kalau kita lihat saluran yang ada sekarang banyak yang rusak karena dibangun asal jadi dan juga ketika musim kemarau tiba saluran tersebut dipenuhi dengan pasir atau tanah. Kemudian lagi saluran tersebut mesti bersifat sambung menyambung - tidak ada istilah saluran air yang buntu - dan akhirnya air hujan akan bermuara pada sungai ataupun saluran induk.
Ketiga, membuat bak air “raksasa”, yaitu sebuah tempat penampungan air yang berukuran super ultra besar di beberapa titik. Bak ini berfungsi sebagai tempat penampungan air hujan yang bersifat sementara (temporary) sebelum disalurkan ke tempat penyaluran biasanya. Karena ketika hujan turun secara terus menerus, maka saluran air yang biasa itu kadang tidak sanggup menerima limpahan air yang berjumlah sangat besar. Nah disinilah fungsi bak raksasa ini. Dengan kata lain, bahwa tidak selamanya pengeluaran lebih sedikit dari pada pemasukan, itu baik. Artinya dalam hal ini diperlukan pengeluran lebih banyak dari pemasukan. Karenanya air yang datang dalam jumlah yang cukup banyak, akan tetapi tidak mampu disalurkan secara seimbang, maka air tersebut akan meluap ke pemukiman pendudukan yang akan menyebabkan banjir.
Keempat, memelihara dan merawat hutan serta menanam pohon sebanyak mungkin. Hutan memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, selain sebagai penghalang pemanasan global (global warming) juga bermanfaat untuk menghalang air hujan jatuh secara langsung sekaligus ke daratan yang rendah yang akan menyebabkan musibah banjir. Akar pepohonan akan menyerap air sehingga daerah-daerah yang rendah tidak akan menerima kiriman air dalam jumlah yang sangat besar melainkan hanya sisa dari serapan pepohonan tadi saja. Selain itu, keberadaan hutan dan pepohonan juga akan mencegah dari musibah tanah longsor.
Oleh karena betapa pentingnya hutan dan pohon kayu, maka sudah sepatutnya program penghijauan dan pembasmian illegal logging yang dicanangkan oleh PEMDA Aceh, mendapat sokongan dari masyarakat luas. Alhamdulillah bapak Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, ternyata sangat serius dan komitmen dalam masalah ini. Bahkan baru-baru ini dia di undang ke forum pertemuan gubernur seluruh dunia untuk menyampaikan gagasan cemerlangnya green vision. Tentunya prestasi ini patut mendapat apresiasi dari masyarakat seluruh Aceh karena ini juga demi kepentingan kita bersama di masa yang akan datang.
Penutup
Sedikitnya dengan empat langkah tersebut di atas, insyallah bencana alam banjir akan bisa kita minimalisir kadarnya. Semoga saja di musim hujan pada kali yang lain kita bisa menjadikan air hujan sebagai air yang membawa rahmat dan berkah, bukan malah air yang membawa bencana. Tentunya ini semuanya tidak tergantung pada pemerintah saja, melainkan semua pihak turut ikut andil dalam mengatasi masalah ini. Wallahu a’lam bisshawab.


[1] . Penulis adalah alumni pasca sarjana di International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia. Saat ini berdomilsili di Meunasah Tutong, Montasik, Aceh Besar. Email: zul_aceh@yahoo.com

Siapa Bilang Meutia Gak Boleh Shalat Jumat

Siapa Bilang Meutia Gak Boleh Shalat Jumat ?
(Sebuah Tanggapan atas Tulisan Dian Guci)
Oleh : Zulhelmi, MHSc. ALIS[*]

MUQADDIMAH
Sejenak tergelitik ketika saya membaca tulisan saudari Dian Guci yang seolah-olah ingin menjadi pahlawan kesiangan dalam isu jender di Aceh hari ini. Dengan sangat berani dan tanpa beban, Dian Guci mendobrak ajaran Islam yang sudah bersifat kaku dan tidak bisa dirubah-rubah lagi. Dian Guci malah mengambil sebuah contoh kasus Dr. Amina Wadud di Amerika Serikat sebagai barometer untuk kesetaraan jender di Aceh. Sungguh sebuah dobrakan yang sangat berani dari tulisan Dian Guci dan sejauh yang saya ketahui belum ada orang lain yang mendahuluinya.
Akan tetapi kalau diteliti lebih lanjut lagi, sebenarnya banyak sekali kerancuan yang saya dapatkan dalam tulisan Dian Guci. Antara lain, pertama : dalam judul tulisannya Dian Guci mempertayakan kenapa perempuan tidak boleh shalat Jumat? Sementara harapan yang dituntut di dalam ulasannya – berdasarkan judul - adalah alasan-alasan serta jawaban yang kongrit untuk menjawab pertanyaan dari mengapa. Kalau pertanyaannya mengapa, pasti jawabannya karena. Nah inilah yang tidak saya temukan di dalam tulisan Dian Guci. Tidak etis seorang penulis setelah melemparkan permasalahan kemudian ia lari dari masalah itu sendiri dan meninggalkan kesan yang tidak baik bagi pembaca lainnya. Katakanlah Dian Guci secara sengaja membiarkan pembaca supaya ingin memberikan jawaban untuknya – karena keterbatasan ilmu agama yang dimilikinya – namun tidak selayaknya sang penulis memberikan klaim-klaim yang menjurus kepada pelecehan nilai agama Islam, seperti menggugat keotentikan hadist shahih Bukhari Muslim.
Kedua, ketidaksesuaian antara judul dengan isi tulisan. Dari judul, sang penulis mempertanyakan mengapa wanita tidak boleh shalat Jumat. Akan tetapi ketika kita membaca tulisannya, ternyata dia telah mengalihkan pembahasan kepada perkara yang lain lagi, yaitu mengapa wanita tidak boleh menjadi imam shalat yang makmumnya laki-laki. Antara shalat jumat dengan syarat menjadi imam adalah dual perkara yang berbeda dan tidak bisa disamakan.
Ketiga, Dian Guci tidak konsinten atau tidak tetap pendirian dengan pemikirannya sendiri. Pada satu sisi dia mengakui bahwa ajaran Nabi Muhammad SAW telah mengangkat derajat kaum wanita dan telah merobohkan tradisi jahiliah yang tidak menghormati kaum wanita. Sementara pada sisi lain, Dian Guci berpendapat bahwa ajaran nabi Muhammad belum sepenuhnya menghormati kaum wanita. Hal ini Nampak ketika dia ingin menggiring pembaca supaya wanita diberikan hak yang sama dalam semua perkara, termasuk perkara ibadat. Menurutnya – walaupun dia sempat berkilah bahwa kasus Dr. Amina Wadud tidak seharusnya kita setujui – wanita itu sama haknya seperti laki-laki dan tidak boleh ada perbedaan antara keduanya, termasuk dalam persoalan ritual agama, seperti hak wanita menjadi imam bagi makmum laki-laki. Buktinya, di beberapa kesempatan dia setuju dengan tindakan Dr. Amina Wadud dan seolah-oleh ingin menjadikannya sebagai barometer dalam isu jender di Aceh.
JAWABAN BUAT AYAH MEUTIA
Di dalam tulisan ini saya ingin membantu ayah Meutia yang belum mampu memberikan jawaban yang memuaskan kepada anak kesayangannya itu. Bahwa sebenarnya tidak ada larangan dalam agama Islam bagi perempuan untuk shalat Jumat di mesjid seperti laki-laki. Namun hukumnya bukan wajib akan tetapi sunat. Amin bin Yahya di dalam bukunya yang berjudul al-Fatawa al-Jamiah lil Mar-ah Muslimah mengatakan bahwa seorang perempuan yang telah melakukan shalat Jumat, maka dia tidak diwajibkan lagi untuk melaksanakan shalat zhuhur.(Amin bin Yahya: hal 153-154). Artinya dalam hal ini, shalat sunat mampu menutupi shalat fardhu bagi kaum wanita. Bahkan ini adalah sebuah nilai plus bagi perempuan karena tidak diwajibkan shalat Jumat. Bagi yang laki-laki saja masih ada yang susah untuk menunaikan kewajiban ini, sehingga kalau di Aceh kita mendapatkan adanya razia-razia oleh polisi syariat atau WH bagi kaum lelaki yang tidak mau shalat Jumat. Bisa dibayangkan bagaimana kalau sempat kaum wanita juga diwajibkan untuk shalat Jumat. Jadi intinya, bahwa shalat Jumat hukumnya sunat (bukan haram) bagi kaum wanita dan wajib bagi kaum lelaki. Dan begitu juga untuk melaksanakan shalat fardhu lima waktu, boleh-boleh saja dilakukan oleh kaum wanita di mesjid (tidak ada larangan) sebagaimana hadist yang telah dikutip oleh Yusnadi, salah seorang komentator atas tulisan Dian Guci.
Sementara itu, untuk menjawab pertanyaan mengapa wanita tidak diperbolehkan menjadi imam shalat kepada makmum laki-laki? Lantas apakah ini berarti bahwa ajaran Islam telah melakukan diskriminasi terhadap perempuan? Jawabannya, memang agama telah menetapkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam kepada laki-laki. Dan hal ini adalah bersifat mutlak, tidak bisa diganggu gugat serta ditafsirkan kembali oleh siapa dia. Karena ajaran Islam itu ada yang bersifat qath’ie yaitu perkara-perkara yang sudah baku dan tidak boleh diamandemen lagi dan ada yang bersifat dhannie, yaitu perkara-perkara yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat.
Nah larangan perempuan menjadi imam ini, termasuk ke dalam ajaran Islam yang sifatnya qath’ie dan tidak boleh mutjahid manapun untuk merubahnya. Namun demikian, larangan ini tidak boleh divonis bahwa Islam tidak menghargai perempuan, Islam tidak bersifat adil, Islam tidak menjunjung tinggi kesetaraan gender. Akan tetapi di sana ada hikmah yang sangat besar yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia secara menyeluruh. Salah satu hikmahnya adalah, justru dengan larangan tersebut agama Islam menjaga martabat wanita dan meninggikan derajatnya. Hal ini sebagaimana yang tersirat dari salah seorang komentator atas tulisan Dian Guci lainnya, bahwa wanita itu dikarunia oleh Tuhan berupa bentuk fisik yang sangat indah. Pendapat ini tidak salah, bahkan turut didukung oleh sebuah adagium yang mengatakan bahwa, barangsiapa yang ingin mengenal Tuhannya, maka lihat lah wanita. Oleh karenanya Islam ingin menjaga kehormatan atas karuni tersebut dengan upaya-upaya yang bersifat preventive. Makanya, salah besar kalau kita mengambil larangan ini sebagai landasan bahwa Islam telah memperlakukan perempuan secara tidak adil dan diskriminatif.
KESETARAAN GENDER DI ACEH
Isu kesetaraan gender yang sangat hangat diperbincangkan seiring dengan semakin luasnya kran reformasi dan alam demokrasi di Indonesia adalah bukan hal yang tabu bagi masyarakat Aceh. Oleh karena nya, ketika saudari Dian Guci mengangkat sebuah studi kasus Dr. Amina Wadud – dulunya sempat menjadi dosen di tempat saya kuliah – untuk membicarakan masalah gender, adalah hal yang tidak tepat untuk daerah Aceh. Karena Aceh sejak dulu kala telah setia menganut ajaran-ajaran syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Masyarakat Aceh sangat kental dengan Islam karena sejak kecilpun telah mendapat didikan tentang ajaran Islam baik dari keluarga, meunasah, rangkang seumeubeut, dayah, sekolah dan sampai ke perguruan tinggi. Jadi kita tidak bisa menyamakan masyarakat Islam di Aceh dengan masyarakat Islam di Amerika Syarikat.
Masyarakat Aceh telah menganut ajaran kesetaraan gender sejak dulu lagi. Sejarah menulis dengan tinta emasnya bahwa ada 4 (empat ) orang ratu yang memimpin Aceh dalam rentan waktu yang cukup lama dan bahkan dibawah pimpinan mereka Aceh semakin disegani oleh dunia international. Mereka adalah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675); Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678); Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688) dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699). Dan juga Aceh memiliki panglima perang yang ditakuti oleh musuh, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Mutia, Laksamana Malahayati dan lain sebagainya. Mereka telah membuktikan kepada dunia bahwa, ternyata perempuan juga punya andil yang sama dengan laki-laki, baik dalam bidang politik, status social, economi dan tidak dalam bidang agama.


PENUTUP
Oleh karenanya, isu kesetaraan gender yang telah melangkahi ajaran agama Islam tidak layak bahkan tidak cocok untuk diangkat di Aceh, karena masyarakat Aceh adalah masyarakat yang taat kepada ajaran agama Islam serta kental dengan nuansa yang islami. Antara Islam dan Aceh tidak bisa dipisahkan, ibarat sekeping uang logam yang mempunyai dua sisi. Masyarakat Aceh tidak mau melangkahi ajaran Tuhan, karena mereka sangat yakin seyakin-yakin nya bahwa di sana banyak sekali hikmah dari ajaran Islam yang melindungi martabat wanita. Makanya di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak kepada seluruh pegiat isu kesetaraan gender yang ada di Aceh, baik secara personal maupun secara kelembagaan, kalau ingin mengangkat isu gender, maka angkatlah isu tersebut yang sesuai dengan ajaran Islam. Karena kebanyakan isu gender yang dihembus selama ini terkesan ada “misi yang terselubung” di balik makna demokrasi dan hak asasi manusia. Dan satu lagi yang sangat penting adalah, kita tidak boleh berkiblat ke barat untuk membela hak-hak kaum wanita di Aceh, akan tetapi berkiblat lah ke jati diri kita di masa lalu yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Wallahu ‘alam bisshawab.




[*] Penulis adalah alumni program Master of Human Sciences with specialization in Arabic Literary Studies, di International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia. Untuk saat ini berdomisili di Meunasah Tutong, Montasik, Aceh Besar. Email : zul_aceh@yahoo.com